Di masyarakat kalangan ini disebut banci, wadam, bencong, dll. yang merupakan stigma (cap buruk). Belakangan dikenalkan istilah waria sebagai padanan transcender.
Yang sering luput dari perhatian adalah orientasi seksual antara, terutama pada kalangan laki-laki heteroseksual, yaitu biseksual dan juga LSL. Tidak mudah untuk mendapatkan prevalensi homoseksualitas di sebuah masyarakat karena mereka memilih menutup diri. Ini terjadi karena ponolakan dan tekanan yang kuat dari masyarakat yang menempatkan diri sebagai heteroseksualitas, sebagian dengan kemunafikan.
Terkait dengan penyebaran HIV maka biseksualitas dan LSL merupakan perilaku tertutup yang tidak terjangkau sehingga mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Lagi, pula mereka tidak mendapatkan stigma dan tekanan sosial sehingga mereka lebih leluasa jika dibandingkan dengan laki-laki gay dan waria.
Perilaku-perilaku seksual dengan pembenaran dan perilaku seks yang berisiko menjadi jembatan penyebaran HIV dari satu kalangan ke masyarakat atau sebaliknya.
Celakanya, yang dituding sebagai 'penyebar HIV' hanya perilaku seksual dengan deviasi yang kasat mata, seperti laki-laki gay dan waria. Selama perilaku seksual yang tidak kasat mata, seperti biseksualitas dan LSL, tidak tersentuh maka HIV/AIDS di Indonesia akan menjadi 'bom waktu' ledakan AIDS di masa yang akan datang karena mereka menjadi mata rantai yang mendorong penyebaran HV.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H