Seperti yang pernah dilakukan oleh Luna Maya terhadap pekerja infotainment dengan mengatakan derajat (pekerja) infotainment lebih hina daripada pelacur (Lihat: http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2010/07/31/menyoal-nilai-berita-infotainment/). Sebagai wartawan saya sangar kecewa terhadap Luna Maya karena sebagai seorang public figure dia sudah merendah harkat dan martabat pribadi wartawan. 'Hina' dan 'caci'-lah karya jurnalistik seorang wartawan bukan pribadinya.
Lagi pula, apakah Tuhan pernah memberikan hak kepada Luna Maya untuk menghina pelacur? Merendahkan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia adalah urusan Tuhan sebagai Penguasa Semesta Alam. Hina di hadapan manusia belum tentu hina di hadapan-Nya.
Begitu pula dengan kejadian yang menimpa wartawan GlobalTV yang dikabarkan dianiaya oleh rekan-rekan Ahmad Dhani di depan rumah subjek berita tentulah ini menggambarkan perilaku bar-bar yang jauh dari budi pekerti manusia. Dikabarkan wartawan GlobalTV mau melakukan konfirmasi atas fakta publik (seseorang melahirkan). Ini merupakan kerja jurnalistik yang dilindungi oleh hukum, kewajiban wartawan untuk melakukan check and recheck. Wartawan bekerja dilindungi oleh hukum yaitu UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Maka, pihak-pihak yang menghalangi sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum (pasal 18 ayat 1 UU Pers) dengan ancaman hukuman kurungan dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
Dalam kaitan itulah setiap orang yang merasa dirugikan karena pemberitaan menempuh jalur hukum. Jangan sekali-kali menghina wartawan sebagai pribadi, tapi kritiklah tulisan atau laporannya.
Bagi yang merasa tidak puas atas pemberitaan dalam menggunakan Hak Jawab (pasal 5 ayat 2) dan Hak Koreksi (pasal 5 ayat 3) seperti diatur di UU Pers, yaitu: Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Jika tidak puas silakan memanfaatkan mediasi melalui Dewan Pers. Kalau tetap tidak puas jalur hokum terbuka luas.
Maka, amat disayangkan perlakuan puluhan mahasiswa di Palu, Sulteng, yang mengeroyok seorang wartawan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/02/mahasiswa-di-palu-sulawesi-tengah-mengeroyok-wartawan/).
Rupanya, mahasiswa di Palu memilih otot daripada otak dalam bertindak. Inilah salah satu gambaran umum calon intelektual pemimpin bangsa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H