Slogan demokrasi dan jarfon sebagai bangsa berbudaya dan bangsa yang beragama ternyata tidak bisa membendung perilaku kriminal sebagian orang mulai dari kalangan bawah sampai atas, bahkan pejabat negara, untuk menghargai juranalis (wartawan) di ranah hukum.
Berita terkait dengan jabatan disudahi dengan membunuh wartawan yang menulis berita. Berita terkait dengan privasi di kalangan public figure (yang terkenal atau tersohor) diakhiri dengan cacian, cercaan dan kekerasan fisik.
Apa pun yang dilakukan terhadap seseorang jika dalam bentuk kekerasan fisik maka itu menjadi perkaran kriminal (berkaitan dengan kejahatan yaitu pelanggaran hokum yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana).
Maka, tidak ada alasan bagi artis untuk mencaci, mengejek, mencerca dan menganiaya wartawan.
Jika keberatan dengan perilaku wartawan ketika wawancara atau mengambil gambar dapat ditegur dengan santun. Kalau wartawan tetap tidak mengindahkan teguran maka kejadikan itu dapat diadukan polisi sebagai perbuatan tidak menyenangkan.
Tapi, berbeda halnya jika wartawan bekerja di ranah publik untuk memperoleh fakta publik, misalnya dari pejabat publik dan public figure maka akan lain persoalannya jika wartawan dihalangi. Ini perbuatan yang bertentangan dengan hukum, seperti datur di pasal ....
Jika pejabat publik atau public figure enggan diwawancarai dan difoto di ranah publik maka bisa menolak wartawan dengan cara yang santun dan membuat janji. Sedangkan foto atau hasil rekaman yang ada di tangan wartawan tidak boleh dirampas karena hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Kalau foto atau gambar tidak ingin disiarkan buat perjanjian dengan wartawan. Katakan bahwa foto atau gambar yang diambil tidak untuk dipublikasikan. Tapi, jika wawancara, foto dan gambar terkait dengan kepentingan publik maka wartawan berhak menolak permintaan. Ini sesuai dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik-PWI: "Wartawan menghormati dan menjungjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya Jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum."
Yang terjadi selama ini adalah ada narasumber berusaha merampas catatan (notes), kamera atau tape recorder wartawan. Ini tentu saja tidak dibenarkan hukum karena penyitaan hanya dibenarkan berdasarkan surat dari ketua pengadilan negeri setempat (KUHAP pasal 38 ayat (1): "Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat."
Memang, ada keluhan dari sebagian public figure yang merasa masalah pribadinya diumbar sebagai (bahan) berita. Tapi, tanpa mereka sadari yang membesarkan mereka sebagai public figure justru kisah-kisah pribadi (fakta privat, atau privasi) yang diramu wartawan, teruatama wartawan infotainment, menjadi bahan siaran di televisi atau beria di media cetak.
Ini menunjukkan ada public figure yang tidak siap menghadapi realitas sosial yaitu pembeberan kisah atau cerita tentang pribadi mereka ke publik yang juga membesarkan mereka.