Ketika kasus HIV/AIDS mulai merebak reaksi-reaksi yang muncul sangat reaktif. Tanggapan terhadap epidemi HIV sebagai fakta medis tidak objektif sehingga memunculkan HIV/AIDS sebagai mitos (anggapan yang salah). Kesan yang muncul dari fenomena AIDS sama sekali tidak terkait langsung dengan penanggulangan AIDS. Seperti yang terjadi di Bandung, Jawa Barat, ini. Persoalan utama terkait dengan penyebaran HIV adalah perilaku orang per orang, tapi yang disasar justru masalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Data yang disampaikan oleh Koswara Sonka, Sekretaris Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Bandung sampai Desember 2010 adalah 5.680 atau 39% dari kasus di Jabar (5.680 Kasus HIV-AIDS Terjadi di Bandung, Harian “GALAMEDIA”, 7/3-2011). Berita ini juga ada kompas.com (Penyakit Menular. Tinggi, Laju HIV-AIDS di Bandung, 6/3-2011).
Dikabarkan dalam berita: Untuk mengurangi angka tersebut, KPA berusaha meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dengan membentuk Warga Peduli AIDS (WPA) tingkat kecamatan. Dengan WPA, diharapkan stigma dan diskriminasi masyarakat pada orang dengan Odha dapat berkurang.
Peroalan besar pada epidemi HIV adalah penyebaran HIV yang dilakukan oleh penduduk, laki-laki dan perempuan dewasa, yang belum terdeteksi. Mereka ini dalam kehidupan sehari-hari tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS sehingga mereka tidak menjadi sasaran stigma dan diskriminasi. Jika WPA dibentuk untuk menurunkan stigma dan diskriminasi terhadap Odha maka tidak ada kaitannya secara lansung dengan penyebaran HIV.
Orang-orang yang sudah terdeteksi HIV, khususnya yang menjalani tes HIV dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku maka mereka sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya. Maka, biar pun mereka mendapat stigma dan diskriminasi mereka tidak akan menyebarkan HIV.
Soalnya, selama ini ada kesan bahwa Odha akan menutup diri karena taku mendapat sitigma dan diskriminasi sehingga mendorong mereka menyebarkan HIV/AIDS.
Kalau WPA bertolak dari kesan itu maka upaya penanggulangan AIDS di Bandung tidak akan membawa hasil yang baik karena yang menyebarkan HIV justru orang-orang yang tidak takut atau tidak mendapat stigma dan diskriminasi karena mereka tidak terdeteksi.
Disebutkan pula: Untuk mengurangi angka tersebut, KPA berusaha meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dengan membentuk PA) tingkat kecamatan. Dari 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung, baru 7 yang memiliki WPA.
Langkah KPA itu baik, tapi ada pertanyaan yang sangat mendasar: Apakan materi HIV/AIDS yang disampaikan kepada masyarakat akan akurat? Soalnya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘jajan’, selingkuh, seks pranika, homoseksual, dll.Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Penyebaran HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah di Bandung terjadi antar penduduk (Lihat Gambar 1).
Gambar 1. Penyebaran HIV di Kota Bandung
Tentang kasus HIV/AIDS yang disebutkan banyak di Bandung, ada kemunginan tidak semua kasus itu terjadi di Bandung, tapi hanya dilaporkan di Bandung karena terdeteksi melalui tes HIV di Bandung. Ini terjadi karena di Bandung ada fasilitas tes HIV dan ada pula LSM dapingan (Lihat Gambar 2).
Tapi, perlu diingat biar pun ada kasus dari luar Bandung tidak berarti kasus HIV/AIDS Bandung hanya sedikit. Perlu diigat bahwa epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil (puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut). Nah, kasus-kasus yang tidak terdeteksi itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Bertolak dari data kasus kumulatif HIV/AIDS di Bandung maka yang perlu dilakukan adalah: (a) Mendorong masyarakat yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV untuk menjalani tes HIV secara sukarela, dan (2) Meningkatkan pemahaman penduduk, khususnya laki-laki dewasa, agar menghindari hubungan seksual yang berisiko tertular HIV
Agaknya, Pemkot Bandung, menepuk dada karena tidak ada lagi lokalisasi pelacuran di Bandung setelah Sariten ditutup. Ini salah besar karena tidak ada jaminan bahwa di Bandung tidak ada praktek pelacuran (hubungan seksual dengan imbalan uang) yang terjadi di berbagai tempat, seperti rumah, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.
Lagi pula, bisa saja penduduk Bandung, asli atau pendatang, tertular HIV melalui hubungan seksual di luar Bandung atau di luar negeri. Ketika mereka pulang ke Bandung mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena mereka juga tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.
Biar pun tidak ada (praktek) pelacuran di Kota Bandung: Apakah Pemkot Bandung bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk Bandung yang akan melakjukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks komersial (PSK) di Bandung, di luar Bandung atau di luar negeri?
Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya IIDAK BISA, maka Pemkot Bandung akan mengalami masalah besar terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan seksual.
Selama penanggulangan HIV/AIDS tidak menyentuh akar persoalan, maka selama itu pula (akan) terjadi penyebaran HIV. Pemkot Bandung tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H