Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Vonis AIDS di Provinsi Sulawesi Barat

6 Maret 2011   01:28 Diperbarui: 4 Juni 2024   21:09 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan istilah hukum terhadap aspek di luar hukum akan menimbulkan dampak buruk. Seperti yang dilakukan terhadap hasil tes HIV. Selalu saja ada yang mengatakan pemberitahuan hasil tes HIV sebagai vonis (putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan di antara pihak yang maju ke pengadilan). Ini mengesankan hukuman sehingga mempengaruhi orang yang menerima hasil tes.

Yang boleh memberitahu hasil tes HIV hanya konselor dan dokter melalui proses konseling. Maka, berita tentang pemberitahuan hasil tes HIV kepada seorang penduduk, AM, di Kec. Malunda, Kab Majene, Prov Sulawesi Barat (Sulbar), yang disebutkan sebagai vonis menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS (KPA Sulbar Sesalkan Adanya Vonis Ceroboh Penderita HIV/AIDS, ANTARA News27/2-2011)

Darmawi, Tim Monitoring dan Evaluasi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)_Prov Sulbar, mengataka: "Kami menyesalkan sikap tim laboratorium RSUD Kab Majene, yang begitu cepat memvonis bahwa, AM, warga di Kec Malunda telah menderita penyakit HIV/AIDS." 

Menurut Darmawi tindakan tim laboratorium RSUD Majene yang menyatakan AM positif tetular HIV setelah melakukan tes darah adalah sebuah kecerobohan, karena vonis itu dilakukan tanpa disertai pemeriksaan melalui konseling, dengan menjalankan program Voluntary Counseling and Testing (VCT).

Tes HIV tidak harus harus dilakukan di kliik VCT, tapi menerapkan standar prosedur operasi yang baku, yaitu: konseling sebelum dan sesudah tes, anonimitas (contoh darah tidak diberi tanda yang menunjukkan pemilik darah), konfidensialitas (identitas dirahasiakan), dan persetujuan lisan atau tertulis dengan nama asli atau samaran (informed consent) lisan atau tertulis. 

Pertanyaannya: Apakah RSUD Majene melakukan tes HIV sesuai dengan standar yang baku? Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan karena wartawan yang menulis berita ini tidak melakukan check and recheck ke pihak RSUD Majene.

Darmwi juga mengatakan: "Itu sebuah kecerobohan memvonis AM, sebagai penderita HIV/AIDS tanpa melalui program VCT, yang merupakan program konseling khusus untuk mengetahui setiap orang apakah menderita virus mematikan itu atau tidak, apalagi vonis itu dibesar-besarkan melalui salah satu koran nasional." Sebagai aktivis di KPA patut dipertanyakan mengapa Darmawi memakai kata vonis dan virus mematikan. 

Disebutkan oleh Darmawai, “ …. agar pihak rumah sakit yang ada di sejumlah daerah di Sulbar ketika menemukan atau mencurigai ada pasien yang menderita HIV/AIDS tidak boleh lagi memvonis, tetapi harus melakukan proses VCT karena sudah seperti itu mekanismenya.” Penyebutkan ‘proses VCT’ ini membingungkan masyarakat karena bahasa khas atau jargon di lingkungan penggiat HIV/AIDS. 

Jika seorang dokter atau petugas kesehatan di rumah sakit melihat penyakit pada seorang pasien terkait dengan gejala-gejala HIV/AIDS maka pasien dikonseling (diberikan penjelasan tentang HIV/AIDS). Pada saat yang bersamaan dicari riwayat perilaku pasien. Jika terkait dengan risiko penularan HIV, maka dianjurkan untuk tes HIV sekarela dengan standar baku. Dikabarkan tes HIV yang dilakukan terhadap AM di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, hasilnya negatif. Risiko tertular HIV pada laki-laki di Prov Sulbar ada karena praktek prostitusi di daearh itu.

Baca juga: AIDS di Kalangan PSK di Kota Mamuju, Sulawesi Barat

Ada beberapa hal yang tidak muncul dari berita ini, apakah tidak dijelaskan Darmawi atau wartawan tidak bertanya.

Pertama, setiap tes HIV hasilnya bisa positif palsu atau negatif palsu jika darah diambil pada masa jendela (di bawah tiga bulan setelah tertular HIV). Ada kemungkinan yang terjadi di RS Kab Majene adalah tes pada masa jendela sehingga hasilnya positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi reagent mendeteksi sesuatu yang bisa menunjukkan tes reaktif). Maka, setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Kesalahan RS Kab Majene adalah mengumumkan hasil tes tanpa tes konfirmasi.

Kedua, tidak dijelaskan jenis tes HIV yang dilakukan di RS Kab Majene. Kalau yang dipakai reagent ELISA maka konfirmasi dapat dilakukan dengan tiga kali tes dengan reagent dan cara yang berbeda.

Ketiga, apakah hasl tes HIV di RS Wahidin juga sudah dilakukan tes konfrimasi? Bisa saja terjadi hasil tes negatif di RS Wahidin juga negatif palsu (virus sudah ada tapi tidak terdeteksi karena antibody HIV belum ada). 

Darmawi juga mengatakan: “ …. KPA Sulbar menyatakan AM tidak menderita virus mematikan itu dan hanya menderita penyakit lain yang kini penanganannya dilakukan RS Wahidin Sudiro Husodo.” 

Pernyataan Darmawi ini pun perlu diklarifikasi: (a) Apakah tes HIV di RS Wahidin sudah dikonfirmasi dengan tes lain?, (b) Apakah darah AM diambil pada masa jendela?, dan (c) Apakah perilaku AM berisiko terkait dengan penularan HIV? Tiga pertanyaan di atas saling berkaitan. Kalau tes sudah dikonfirmasi maka hasil tes negatif benar adanya. 

Tapi, kalu hasil tes tidak dikonfirmasi dan darah diambil pada masa jendela maka hasil tes itu pun diragukan. Tapi, kalau perilaku AM berisiko tinggi tertular HIV maka akan mendukung hasil tes yang reaktif (positif). ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun