Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS pada Ibu-ibu Rumah Tangga di Yogyakarta

9 Februari 2011   03:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:46 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Risiko perempuan, dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga, tertular HIV kian nyata. Data KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) menunjukkan sampai Desember 2010 terdeteksi 1.970 ibu rumah tangga yang tertular HIV. Di Yogyakarta, misalnya, dilaporkan 75 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV (75 Ibu Rumah Tangga DIY Terinfeksi HIV/AIDS, suaramerdeka.com, 8/2-2011).

Kasus pada ibu rumah tangga itu merupakan bagian dari 1.208 kasus kumulatifHIV/AIDS di Yogyakarta.Sayang dalam berita tidak ada penjelasan tentang bagaimana ibu-ibu rumah tangga itu terdeteksi HIV. Dalam berbagai kasus ibu-ibu itu terdeteksi pada kehamilan menjelang persalinan. Bahkan, ada yang terdeteksi saat-sat menjelang persalinan.

Tidak ada sistem yang bisa mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil. Padahal, deteksi dini pada perempuan hamil akan memutus mata rantai penularan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Malaysia menerapkan skrining rutin terhadap perempua hamil sehingga kasus-kasus HIV di kalangan perempuan hamil dapat dideteksi.

Di beberapa peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS di beberapa provinsi, kabupaten dan kota ada pasal tentang pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Tapi, tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil. Sayang, pada Perda Prov DI Yogyakarta No 12 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tidak ada pasal terkait dengan pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (Lihat: Syaiful W. Harahap, Tanggapan terhadap Perda AIDS Yogyakarta, http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/19/tanggapan-terhadap-perda-aids-yogyakarta/).

Jika 75 ibu-ibu rumah tangga yang terdetek HIV itu melahirkan tentulah ada risiko penularan ke bayi yang mereka kandung. Kalau tidak ada intervensi medis sebelum persalinan maka risiko penularan antara 15-30 persen. Jika ada intervensi medis maka risiko di bawah delapan persen. Tapi, karena tidak ada mekanisme yang berpijak pada hukum makatidak ada program konkret untuk menanggulangi penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Kasus HIV pada ibu-ibu rumah tangga ini pun menunjukkan bahwa suami mereka tertular dari pasangan seks lain, di dalam atau di luar nikah, karena suami-suami itu tidak memakai kondom. Lagi-lagi ini memupus anggapan yang mengatakan kondom mendorong laki-laki berzina. Buktinya, paling tidak ada 75 laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom sehingga mereka tertular HIV.

Persoalan lain adalah: Apakah suami-suami ibu-ibu itu sudah menjalani tes HIV? Kalau tidak maka mereka ini menjadi mata rantai penyebara HIV secara horizontal. Bahkan, kasus HIV pada perempuan lebih banyak dari jumlah istri yang terdeteksi itu jika suami-suami ini mempunyai pasangan seks, di dalam atau di luar nikah, lebih dari satu.

Dalam Perda AIDS Yogyakarta juga tidak ada pasal yang konkret untuk ‘memaksa’ laki-laki memakai kondom jika melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Perilaku berisko adalah melakkan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi atau lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.

Pertanyaannya adalah: Apakah Pemprov DI Yogyakarta bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa penduduk asli dan pendatang yang akan melakukan perilaku berisiko di wilayah DI Yogyakarta maupun di luar DI Yogyakarta atau di luar negeri?

Kalau jawabannya YA, maka tidak perlu ada pasal yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka perlu ada intervensi dalam bentuk peraturan yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melakukan perilaku berisiko.

Tapi, karena semangat penanggulangan AIDS di Indonesia bertumpu pada norma, moral dan agama maka selama itu pula cara-cara penanggulangan tidak akan pernah konkret. Maka, tinggal menuai hasil yaitu ledakan AIDS karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun