UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi yang sudah mencederai tatanan kehidupan pluralisme di negeri ini menghadapi ujian terberat yaitu kasus video porno ‘Ariel’. UU ini ternyata tidak lebih baik dari KUHP karena tidak menyasar pelaku perbuatan zina secara eksplisit. Yang diutamakan adalah penyebaran video tsb.
Hari ini (31/1-2011) hakim di PN Bandung akan membacakan vonis terhadap Ariel. Vonis ini akan menjadi catatan penting bagi bangsa kita agar tidak gegabah memaksakan kehendak dengan latar belakang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Hai ini menjadi pembuktian apakah UU Pornografi yang dibangga-banggakan sebagai ‘benteng moral’ itu bisa menjerat pelaku zina.
Terkait dengan kasus Ariel ternyata yang dipersoalkan adalah pengunduh dan penyebar video porno melalui internet. Selama ini jika ada foto atau video porno yang beredar, baik dalam VCD (video compact disc) atau melalui telepon genggam (HP), polisi dengan sigap mencari pelaku di video. Kasus pertama terjadi di tahun 2002 ketika ada video porno ‘Bandung Lautan Asmara’. Polisi pun dengan sigap mencari pelaku di video. Begitu pula dengan gambar-gambar syur yang melibatkan pelajar, mahasiswa, pegawai, dll. polisi selalu dengan tangkas mencari sosok di video tsb.
Bandingkan dengan video porno ‘Ariel’ yang semula disebut ‘mirip artis’ yang melibatkan tiga sosok yaitu satu laki-laki dan dua perempuan yang dikatakan mirip artis. Polisi justru tidak membuktikan pelaku yang mempertontonkan adegan hubungan seksual di video itu, tapi mencari orang yang menyebarluaskan video tsb. melalui internet, disebut pengunduh. Dalam sidang di PN Bandung, seperti disebutkan pengacara Ariel, jaksa tidak bisa membuktikan pelaku yang menyebarluaskan video mesum itu. Inilah yang membuat Ariel di atas angin. Dengan tuntutan lima tahun penjara ada kemungkinan vonis di bawah tuntutan jaksa.
Lalu, mengapa orang-orang yang terlibat dalam adegan hubungan seksual di viedo yang sudah beredar luas itu tidak diseret ke pengadilan? Padahal, salah seorang di antara pelaku yaitu, Cut Tari, sudah mengaku bahwa dialah perempuan yang melakukan adegan sanggama dalam video tsb.
Pasal yang dituduhkan jaksa adalah pasal 29 yang merupakan sanksi pidana terhadap perbuatan seperti pada pasal 4 yaitu: (1). Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluas kan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.
Ada dua pasal di UU Pornografi yang tidak dipakai pada kasus video porno tsb., yaitu: pasal 8 (Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.), dan pasal 9 (Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.)
Ancaman pidana terhadap perbuatan pada pasal 8 disebutkan di Pasal 34: “Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).” Sedangkan ancaman pidana terhadap pasal 9 disebutkan di pasal 35: “Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”
Terkait dengan praktek zina di video ‘mirip artis’ polisi mengatakan bahwa dalam kasus perzinaan harus ada pihak yang mengadu. Soalnya, dalam KUHP perzinaan disebut sebagai hubungan seks antara laki-laki dan perempuan yang terikat dalam pernikahan. Maka, harus ada pihak terkait yang mengadu. KUHP tidak bisa menjerat pelaku zina di video mesum itu karena tidak ada pengaduan dari istri atau suami pelaku.
Tapi, mengapa Satpol PP dan Polisi dengan ringan tangan menangkap ‘pasangan mesum’ di losmen dan hotel melati (Satpol PP dan Polisi tidak pernah merazia pasangan mesum di hotel berbintang)? Padahal, tidak ada pihak yang mengadu terkait dengan ‘pasangan mesum’ yang tertangkap di losmen atau hotel melati tsb.
Mengapa UU Pornografi yang selama ini diangung-agungkan sebagai ’benteng’ pertahanan moral bangsa justru tidak bisa menjerat pelaku zina di video? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H