Pencegahan dini adalah mencegah penularan HIV di hulu, terutama melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom di dalam dan di luar nikah. Tapi, di Indonesia yang terjadi adalah panggulangan di hilir yaitu mendeteksi kasus HIV dan AIDS, terutama melalui mekanisme tes sukarela di klinik VCT. Dalam Raperda AIDS Kota Medan pun tidak ada mekanisme yang konkret untuk mencegah penularan HIV di hulu. Disebutkan dalam berita: Anggota Komisi B DPRD Medan, Bahrumsyah, memaparkan dalam Perda itu nantinya akan diatur bagaimana pencegahan penyakit HIV/AIDS. Dan yang paling penting diatur adalah mencegah prilaku menyimpang, seperti seks bebas. Tak hanya itu, lokasi-lokasi yang berpotensi menyebabkan timbulnya penyakit itu perlu diatur penataannya.
Lokasi Pelacuran
Lagi-lagi mitos (anggapan yang salah) yang dikedepankan dalam raperda AIDS itu. 'Perilaku menyimpang' adalah bahasa moral yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV sebagai fakta medis. 'Seks bebas' yang diartikan sebagai zina tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Disebutkan pula: "Lokasi-lokasi yang berpotensi itukan penataannya belum konkrit, jadi perlu diatur." Pernyataan ini tidak eksplisit, tapi yang dituju adalah lokasi atau tempat-tempat yang memungkinkan terjadi transaksi (hubungan) seks. Tapi, dalam Raperda AIDS Kota Medan ini sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan pencegahan HIV melalui hubungan seksual di lokasi atau tempat pelacuran.
Dalam raperda di pasal 12 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom. Ini terkait dengan pasal 1 ayat 39: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Pasal ini menyasar semua penduduk Kota Medan. Padahal, yang dimaksud sebenarnya adalah hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Sayangnya, dalam raperda ini tidak ada pasal yang menukik ke lokasi, lokalisasi atau tempat-tempat yang menyediakan PSK. Yang ada dalam raperda ini hanya tempat hiburan, yaitu di pasal 13 ayat (1) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memberikan informasi atau penyuluhan secara berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua karyawannya. Ayat (2) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib mendata karyawan yang menjadi tanggungjawabnya. Ayat (3) Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ke tempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota Medan.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah di Kota Medan ada lokasi (tempat terbuka, rumah, pondokan, atau bangunan) sebagai tempat pelacuran?
Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka satu masalah sudah terselesaikan sehingga tidak perlu ada pasal yang mengatur masalah hubungan seksual berisiko. Yang perlu diatur tinggal penyebaran melalui penggunaan jarum suntik bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), transfusi darah, dan PMTCT.
Tapi, kalau jawabannya ADA, maka Perda harus mengatur kewajiban bagi laki-laki 'hidung belang' untuk memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, karena raperda ini dirancang dengan semangat moral maka penanggulangan HIV melalui hubungan seksual dengan PSK tidak muncul.
Bagaimanapun tidak ada alasan untuk mengabaikan perawatan dan pengobatan terhadap penduduk yang mengidap HIV (Odha-Orang dengan HIV/AIDS). Pemberitan obat antiretroviral (ARV) adalah untuk menurunkan riisko penularan HIV karena konsentari virus (HIV) pada Odha yang meminum obat ARV akan rendah sehingga menurunkan potensi penularan.
Memang, sekarang obat ARV gratis karena ada donor asing yang membiayainya. Di beberapa daerah dana APBD dikuras untuk membiayai klub sepak bola, sehingga mengabaikan dana untuk penanggulangan HIV/AIDS. Jika kelak tidak ada lagi donor asing maka banyak daerah yang akan kelimpungan mendanai penanggulangan, terutama perawatan dan pengobatan, HIV/AIDS.