Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Orang Kota Tapi Tetap "Kampungan"

26 Desember 2010   00:27 Diperbarui: 14 Februari 2024   07:49 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: blogsgrassroutes.wordpress.com)

Dialog-dialog di beberapa mata acara di stasiun televisi swasta nasional, seperti pada acara sinetron dan film televisi (FTV) selalu dihiasi dengan kata-kata yang bombastis, tapi salah kaprah.

Kata-kata yang paling sering diumbar pemain sinetron adalah ‘kampungan’, ‘anak kampung’, ‘gadis kampung’, ‘gadis desa’, dll.

Yang dituju adalah orang yang berasal dari kampung atau desa yang tinggal di kota. Sindiran itu ditujukan kepada pendatang yang sikapnya tidak menggambarkan ‘orang kota’, misalnya, tidak mau ke diskotek, berpakaian sopan, dll.

Tidak semua perilaku yang ditunjukkan oleh pendatang dari desa di kota sebagai ‘kampungan’. Sikap hormat, berpakaian sopan, dll. merupakan sikap dasar manusia yang tidak terkait dengan kampong atau desa. Tapi, orang-orang yang merasa dirinya sebagai ‘orang kota’ memandang hal tsb. sebagai kebiasaan di kampung atau ‘kampungan’.

‘Kampungan’ tidak berarti hanya merupakan perilaku setiap orang yang berasal dari kampung atau desa yang pindah ke kota (besar). “Kampungan’ atau ‘kotaan’ terkait dengan perilaku dan sikap pada kehidupan sehari-hari.

‘Kampungan’ atau lebih tepat disebut ‘budaya desa’ adalah kebiasaan yang lazim dilakukan di desa. Misalnya, berhenti di sembarang tempat, membuang kulit pisang ke pekarangan, dll.

Sebagian dari kebiasaan di desa tidak bisa dilakukan di kota. Misalnya, naik turun kendaraan umum harus di tempat yang disediakan. Di kota disediakan tempat pemberhentian, disebut halte atau shelter. 

Tapi, apa yang terjadi? Yang menyebut diri sebagai ‘orang kota’ justru perilakunya ‘kampungan’. Lihat saja calon penumpang angkutan umum. Mereka tidak menunggu di halte, tapi berdiri di perempatan jalan, di lampu lalu lintas, di luar halte, dll. Justru inilah yang disebut ‘kampungan’ atau membawa ‘budaya desa’ ke kota karena mereka tidak mengikuti aturan di kota.

Tidka sedikit ‘budaya desa’ yang tetap dipakai orang-orang yang menamakan dirinya sebagai ‘orang kota’, misalnya, membuang sampah ke jalan raya. Pengemudi mobil mewah pun sengaja membuka kaca pintu mobil hanya untuk membuang puntung rokok atau tissue ke jalan raya. Sopir-sopir dan kondektur angkot menjadikan jalan raya sebagai ‘tong sampah’. Puntung rokok, bungkus rokok, botol minuman air mineral, dll. mereka buang ke jalan raya.. Justru ini yang disebut ‘kampungan’ karena tetap melakukan ‘budaya desa’ di kota biar pun mereka menganggap dirinya sebagai ‘orang kota’.

Tampaknya, peningkatan status ekonomi tidak semerta meningkatkan perilaku yang sesuai dengan tingkat ekonomi. Di jalur Puncak, misalnya, sering terlihat orang membuang kulit buah-buahan dari mobil.

Maka, tidak heran kalau ada lelucon ketika orang Indonesia di Singapura: Mereka memilih membuang puntung rokok ke saku baju daripada ke jalan raya karena takut kena denda yang lebih besar daripada harga baju.

Ironisnya, orang-orang kota yang sering ke luar negeri dan selalu taat di sana, tapi ketika di Indonesia malah tidak mematuhi aturan. Membuang sampah sembarangan. Merokok di tempat umum. Menerobos lampun merah, dll. 

Di Malaysia sangat jarang terdengar bunyi klakson motor dan mobil. Saya pernah tanya ke polisi di KL: ”Ya, klakson untuk mengusir hewan dari jalan raya.” Nah, kalau tidak ada hewan tapi klakson bunyi meraung-raung?.

Di Denpasar dan Manado sangat jarang terdengar suara klakson motor dan mobil karena pengguna jalan mahfum bahwa setiap orang ingin lancar sehingga tidak perlu membunyikan klakson kalau laju tesendat.

Di Manila tidak ada lampu pengatur lalu lintas dan tidak ada pula polisi yang berjaga-jaga. Tapi, tidak pernah ada kemacetan di perempatan jalan. Mengapa?

Di setiap perempatan jalan ada garis kuning yang membentuk kotak dari tiap sisi jalan. Setiap kendaraan yang akan melewati ’kotak kuning’ berhenti sebelum roda depan menyentuh garis ’kotak kuning’. Selalu mendahulukan kendaraan yang sudah duluan masuk ke dalam arena ’kotak kuning’. Masing-masing mengatur diri sendiri.

Di Indonesia? Ada lampu pengatur lalu lintas dan polisi tetap saja lampu merah diserobot. Bahkan, sepeda motor berhenti di zebra cross yang merupakan hak pejalan kaki.

Apakah cara-cara mengemudi di jalan raya di Indonesia menggambarkan ’budaya kota’? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun