Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penyebaran HIV/AIDS di Kab Belitung Timur, Prov Bangka Belitung

21 Desember 2010   08:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat Pasutri Meninggal Karena Terinfeksi HIV/Aids.” Ini judul berita di Harian ”Bangka Pos” (6/12-2010). Disebutkan: “Empat  pasang suami istri pengidap HIV yang meninggal dunia sejak tahun 2006. Dimana penyebaran virus HIV di Kabupaten Beltim, sudah pada tingkat menghawatirkan. Karena penyebaran virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia ini, sudah sampai ke dalam lingkungan masyarakat.”

Judul berita ini tidak akurat karena kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS yaitu secara statistik antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Kematian bukan karena HIV atau AIDS tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Fakta tentang empat pasang pasutri yang meninggal karena penyakit terakit AIDS seakan hanya bagaikan tonggak dengan penanda angka. Tidak ada makna empat pasang suami istri pengidap HIV yang meninggal karena fakta ini tidak dibawa ke realitas sosial. Empat pasang suami istri berarti sudah ada delapan penduduk yang mengidap HIV. Kalau 4 lali-laki yang merupakan suami mempunyai pasangan seks lain, seperti istri kedua, dst., pacar, simpanan atau selingkuhan maka angka kasus HIV/AIDS makin besar karena kian banyak eprempuan yang berisiko tertular HIV dari empat laki-laki tadi.

Angka kasus HIV/AIDS kian banyak lagi kalau keempat laki-laki itu juga menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.). Jika ada perempuan yang menjadi pasangan keempat laki-laki itu selain istrinya yang tertular HIV maka perempuan-perempuan itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Disebutkan pula: penyebaran HIV di Kab Beltim sudah mengkhawtirkan karena ’sudah sampai ke dalam lingkungan masyarakat’. Ini tidak akurat karena sejak awal epidemi tahun 1981 HIV/AIDS memang sudah ada di masyarakat. Kalangan laki-laki gay yang terdeteksi AIDS di San Fransisco, AS, juga bagian dari masyarakat. Begitu pula dengan PSK mereka juga bagian dari masyarakat. Bahkan, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda, atau remaja. Mereka ini juga merupakan bagian dari masyarakat.

Dikabarkan upaya antisipasi penyebaran HIV Dinas Kesehatan Kab Beltim mengambil sampel darah pejabat eselon II dan III, serta anggota DPRD Kab Beltim. Ini disebut sebagai bentuk promosi untuk mendorong masyarakat dengan kesadaran dengan sendiri melakukan tes HIV di klinik VCT di RSUD Beltim, dan di P2PL Dinas Kesehatan Kab Beltim.

Cara yang dilakukan Dinkes Beltim ini sangat riskan karena jika tes dilakukan dengan ELISA maka akan ada hasil positif palsu (tes darah reaktif tapi antibody HIV tidak ada di dalam darah) atau negatif palsu (hasil tes darah nonreaktif tapi di dalah darah sudah ada antibody HIV). Tentu akan menjadi masalah besar kalau ada di atnara pejabat itu yang hasil tesnya positif palsu. Lebih celaka lagi kalau ada yang negatif palsu karena dia menganggap dirinya HIV-negatif.

Yang perlu menjalani tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV. Mereka itu adalah (1) Yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti; (2) Yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom,di dalam atau di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung, serta pelaku kawin cerai, (3) Yang pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV; (4) Yang pernah atau sering memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian; dan (5) Yang pernah atau sering menyusui air susu ibu (ASI) dari perempuan yang HIV-positif.

Yang perlu menjalani tes hanya orang-orang yang pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Tidak semua orang harus menjalani tes HIV.

Persoalan lain adalah: Apakah Pemkab Beltim bisa menjamin tidak ada laki-laki penduduk asli atau pendatang di Beltim yang akan melakukan perilaku berisiko di wilayah Beltim atau di luar Beltim?

Kalau jawabannya TIDAK maka ada risiko tertular HIV pada penduduk Beltim. Jika ada penduduk asli atau pendatang Beltim yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena tidak ad tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5 -15 tahun setelah tertular HIV).

Yang perlu dilakukan Pemkab Beltim adalah menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat agar penduduk yang merasa dirinya berisiko mau menjalani tes HIV secara sukarela. Soalnya, kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun