Celakanya, suku-suku asli, disebut suku terasing (istilah ini stigmatisasi), mulai diporak-porandakan dengan alasan demi pembanguan dan kemajuan. Ini adalah sudut pandang yang naïf karena mereka sendiri tidak merasa terbelakang.
Kehidupan suku-suku asli diusik. Pemerintah tidak memberikan perlindungan terhadap suku-suku asli. Kalau pemerintah mau arif maka keistimewaan untuk Yogyakarta merupakan bagian dari kehidupan bernegara yang demokratis.
Agaknya, musyawarah untuk mufakat sebagai asas di negeri ini (Sila Keempat dari Pancasila, dan di pembukaan UUD 45) tidak lagi bermakna karena dibenturkan dengan demokrasi (baca: pemilihan umum).
Terkait dengan Yogyakarta tentu saja musyawarah dan mufakat bisa dipakai sebagai sarana demokrasi untuk menetapkan keistimewaan Yogyakarta. Jika musyawarah dan mufakat bisa lebih juah menepatkan Kesultanan Jogjakarta sebaga negara protektorat, seperti Monaco di Perancis, tentulah akan menjadi pencerahan bagi dunia.
Demokrasi mengagung-agungkan pemungutan suara (voting) sebagai lambang kebenaran. Tapi, apakah suara terbanyak selalu dan pasti membawa kebenaran? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H