Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Tanggapan terhadap Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta

19 Desember 2010   00:54 Diperbarui: 28 Maret 2019   17:47 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: health.com)

Perda AIDS Yogyakarta memang mengakomodir penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Di pasal 15 ayat (1) disebutkan: ”Untuk mencegah potensi penularan HIV melalui hubungan seks, setiap orang yang berhubungan seks dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya terinfeksi HIV wajib melindungi dirinya dan pasangannya dengan menggunakan alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV.”

Kewajiban memakai ’alat yang dapat mencegah perpindahan cairan tubuh yang mengandung HIV’ pada pasal itu tidak konkret karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Orang-orang yang sudah mengidap HIV sama sekali tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya.

Apa, sih, ’alat yang dapat mencegah perpindahan cairan tubuh yang mengandung HIV’? Perda ini rupanya diselimuti moral sehingga arti ’alat yang dapat mencegah perpindahan cairan tubuh yang mengandung HIV’ tidak ada pada batang tubuh perda tapi ada pada penjelasan umum. Pada penjelasan pasal 15 ayat 1 disebutkan: Alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu kondom, gel yang mengandung obat antiretroviral, dan lain-lain.

Mengapa pada pasal 15 ayat 1 kata alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV tidak menyebut kondom secara eksplisit dan denotatif? Lagi-lagi ini menunjukkan moral dipakai sebagai landasan program penanggulangan epidemi HIV yang merupakan fakta medis. Kesan itu kian kuat karena di pasal 10 ayat 3 huruf b disebutkan pencegahan melalui promosi al. pengetahuan tentang perilaku hidup yang sehat dan berdasar nilai agama.

Peran Masyarakat 

Apakah ada kaitan langsung antara ’hidup yang sehat’ dan ’nilai agama’ dengan penularan HIV? Tidak ada! Maka, perda ini pun lagi-lagi dibalut dengan moral sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV dan AIDS.

Salah satu risiko penularan HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual yang berisiko yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, di mana saja dan kapan saja dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran, yang mengkal di losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (seperti, ’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL, ’selingkuhan’, gundik, ’ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Memang, di pasal 7 ayat a disebutkan: ”Setiap orang wajib menghindari perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV.” Celakanya, penjelasan perilaku berisiko di perda ini tidak komprehensif, seperti yang pada pasal 1 ayat 20 ini: ”Perilaku berisiko adalah tindakan seseorang yang memungkinkan tertular atau menularkan HIV, seperti melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan, melakukan hubungan seksual dengan ODHA, dan menggunakan jarum suntik tidak steril bersama-sama.”

Ada fakta yang luput dari perhatian perancang perda ini yaitu laki-laki ’hidung belang’ justru tidak ganti-ganti pasangan jika sanggama dengan PSK. Mereka mempunyai ’pasangan tetap’ di kalangan PSK. Akibatnya, mereka tidak merasa berisiko. Padahal, PSK yang mereka jadikan sebagai ’pasangan’ adalah orang yang berisiko tinggi tertular HIV.

Kegiatan berisiko tertular HIV memang bisa saja di mana saja, seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran serta rumah bordir jika tidak ada program ’wajib kondom 100 persen’. Di Yogyakarta kawasan ’sarkem’ (Jalan Pasar Kembang di sisi selatan Stasiun KA Tugu) sudah dikenal sebagai lokasi pelacuran. Dalam perda ini di pasal 14 ayat 1 disebutkan: Tempat Usaha yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV wajib menjalankan pencegahan penularan. Di ayat 2 disebutkan: Upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. sterilisasi alat-alat yang digunakan pada pengguna usaha/jasa; dan b. menggunakan alat sekali pakai kepada pengguna usaha/jasa.

Pasal 14 jelas mengabaikan ’sarkem’ dan tempat-tempat lain, termasuk rumah kos, losmen, hotel melati dan hotel berbintang sebagai tempat yang bisa terjadi praktek pelacuran sebagai perilaku berisiko tertular HIV. Pengabaian kian jelas melalui penjelasan umum yang menyebutkan: “tempat usaha yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV” adalah tempat usaha yang memungkinkan berpindahnya cairan tubuh yang menularkan HIV dari satu orang ke orang lain, antara lain: potong rambut yang menggunakan pisau cukur, tempat pembuatan tindik dan pembuatan tato, tempat khitan, akupuntur, atau salon kecantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun