“Muslimah Hizbut Tahir Indonesia: Pemerintah Gagal Tekan HIV/AIDS.” Ini dulul berita di Harian “Analisa”, Medan 13/12-2010). Disebutkan: Alfiah SSI dari Muslimah Hizbut Tahir Indonesia pada seminar di Universitas Negeri Medan (11/12-2010) menilai pemerintah telah gagal menekan serta mengendalikan jumlah korban HIV/AIDS di tanah air. Hal ini dibuktikan dengan angka penderitanya yang terus meningkat, bahkan cenderung sulit dikendalikan sampai ke titik terendah. Ada beberapa hal yang tidak akurat dari pernyataan ini.
Pertama, kegagalan pemerintah dalam menanggulangi epidemi HIV tidak bisa dilihat dari ‘angka penderitanya yang terus meningkat’ karena laporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama selalu ditambah dengan kasus baru sehingga laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia tidak akan pernah turun, bahkan biar pun penderitanya banyak yagn meninggal.
Kedua, kasus-kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi merupakan kasus yang tertular pada tahun yang bervariasi. Seseorang terdeteksi HIV melalui tes ELISA minimal sudah tertular tiga bulan. Jika seseorang terdeteksi HIV pada masa AIDS maka penularan terjadi antara 5 – 15 tahun sebelum terdeteksi.
Sosialisasi Kondom
Ketiga, dari sisi epidemiologi kian banyak kasus terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. Kasus-kasus HIV dan AIDS yang belum terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Penanggulangan epidemi HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah ergantung kepada perilaku seksual orang per orang sehingga tidak mungkin pemerintah pusat dan daerah mengontrol perilaku orang per orang. Biar pun di satu daerah tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran bisa saja penduduk daerah itu melakukan perilaku berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual di luar daerah atau di luar negeri.
Ketika beberapa kalangan yang memasyarakatkan (sosialisasi) kondom sebagai alat untuk menurunkan risiko penularan HIV pada hubungan seksual yang berisiko pemerintah mendukungnya dengan ‘malu-malu’ dan setengah hati. Di pihak lain tidak sedikit pula yang menolak sosialisasi kondom dengan sebutan kondomisasi yang dibenturkan dengan norma, moral dan agama. Celakanya, tidak ada yang bisa memberikan cara-cara yang konkret untuk menurunkan kasus baru infeksi HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Di bagian lain disebutkan pula: “ …. kegagalan program penanggulangan penyakit paling mematikan itu karena program yang dilaksanakan bertentangan dengan syariat Islam.” Belum kasus kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) mati karena HIV atau AIDS. Kematian pada Odha terjadi karena penyakit-penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘program yang dilaksanakan bertentangan dengan syariat Islam’ karena program yang dikembangkan adalah berdasarkan fakta medis. Di negara-negara yang menerapkan syariat agama, seperti di Arab Saudi, kasus HIV/AIDS tetap banyak. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 13.000 kasus AIDS. Ini belum termasuk kasus HIV-positif (belum masuk masa AIDS) dan yang tidak dilaporkan. Sebuah lembaga pendampingan Odha di Jakarta pernah menangani warga negara salah satu negara di Timur Tengah yang terdeteksi HIV-positif.
Disebutkan pula: Sangat ironi kalau upaya penanggulangan itu dengan menggalakkan kampanye kondomisasi ataupun penggunaan jarum steril, sebab nyata-nyata tidak melarang perzinaan yang dilaknat Allah.
Program penanggulangan HIV di Indonesia tidak pernah mengkampanyekan kondomisasi karena yang dilakukan adalah sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah. Sosialisasi ini adalah opsi (pilihan) bukan paksaan (kondomisasi) karena setiap orang boleh memilih melakukan seks berisiko dengan atau tanpa kondom atau tidak melakukannya.
Program pemberian jarum steril pada pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dilakukan agar tidak terjadi penyebaran HIV di kalangan pengguna narkoba. Ini merupakan salah satu langkah untuk memutus jembatan penyebaran HIV antara pengguna narkoba dan ke masyarakat. Ini dilakukan karena untuk menghentikan penggunaan narkoba tidak mudah sehingga dilakukan upaya untuk mengurangi penyebaran HIV di kalangan pengguna narkoba.
‘Seks Bebas’
Ada pula pernyataan: "Sebab justru program itu mengakibatkan prilaku maksiat semakin aman karena seolah bisa menghindarkan diri dari penyakit paling mematikan ini," Fakta menunjukkan tanpa kondom pun maksiat, dalam hal ini zina dan pelacuran, tetap terjadi. Nun di desa yang terpencil pun yang tidak ada siaran televisi, internet dan ‘gerai kondom’ tetap saja ada perzinaan.
Fakta juga menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Inilah salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV di Indonesia: laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja yang sudah mengidap HIV (tapi tidak terdeteksi) menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK). Kemudian, ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini sudah terbukti dengan kian banyak perempuan (dalam hal ini istri) yang terdeteksi mengidap HIV. Mereka tertular HIV dari suaminya di dalam pernikahan.
Disebutkan pada seminar, dengan tema Show That You Care: Stop HIV-AIDS, Alfiah juga membeberkan fakta lain yang sangat menyedihkan kita semua yaitu semakin buruknya prilaku seks remaja kita akhir-akhir ini dan dibuktikan dengan hasil survai BKKBN.
Kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja pada kalangan penyalahguna narkoba. Mereka diwajibkan tes HIV ketika hendak mengikuti rehabilitasi. Sebaliknya, kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa tidak banyak yang terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa ‘memaksa’ laki-laki ‘hidung belang’ agar menjalani tes HIV. Laki-laki ini terus menyebarkan HIV yang al. dapat dilihat dari jumlah ibu-ibu rumah tangga (istri) yang kian banyak terdeteksi.
Suvai BKKBN itu jelas tidak adil karena hanya menyasar remaja putri sebagai ‘sasaran tembak’ dengan senjata moral. Survai BKKBN ini merupakan perbuatan yang tidak adil karena tidak memberikan perbandingan persentase remaja putra yang tidak perjaka lagi. Ini mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhdaap remaja putri yang bermuara pada perlakuan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Disebutkan lagi: “ …. lebih kritis dan waspada terhadap program penanggulangan HIV/AIDS yang dipromosikan oleh lembaga internasional yang berbasis pandangan skuler-liberal. Sebab program yang mereka sampaikan justru mendorong prilaku seks bebas.”
Penggunaan kota ‘seks bebas’ sudah memasyarakat di Indonesia, tapi tidak jelas maknanya. Istilah ini merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak ada dalam kota kata bahasa Inggris. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HV melalui hubungan seksual. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan dengan ‘seks bebas’. Fakta ini yang sering luput dari pembicaraan tentang HIV/AIDS.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H