Ketika Kementerian Kesehatan RI (d/h. Depkes) mengeluarkan data kasus AIDS terbaru tertanggal 3 Juni 2010 yang melaporkan jumlah kasus AIDS sampai 31 Maret 2010 angka mulai melampaui 20.000 yaitu 20.564.
Dengan angka dua puluh ribuan itu sudah banyak yang kaget. Tapi, tunggu dulu. Angka itu merupakan hasil deteksi di negeri yang berpenduduk 240-an juta. Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20-an juta sudah mendeteksi 87,710 kasus HIV/AIDS (Utusan Malaysia, Kuala Lumpur, 19/03/2010).
Mengapa kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di Malaysia jika dibandingkan dengan di Indonesia?
Apakah memang perilaku penduduk Indonesia lebih ‘sufi’ daripada penduduk Malaysia sehingga jumlah kasus berbeda jauh?
Kalau dicermati pertanyaan kedua tentulah hanya bertolak dari sudut pandang (angle) penduduk Indonesia. Kita sering menganggap lebih berbudaya dan lebih beragama dari bangsa-bangsa lain di dunia ini. Buknya, kita selalu mendengung-dengungkan diri sebagia bangsa yang berbudaya dan beragama. Padahal;, realitas menunjukkan banyak kejadian yang merupakan perilaku penduduk Indonesia yang sama sekali tidak menggambarkan perlaku orang yang berbudaya dan beragama.
Rupanya, Malaysia menjalankan survailans tes HIV dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Sedangkan di Indonesia, ya lagi-lagi, menjalankan survailans tes HIV dengan patokan moral. Yang menjadi ‘sasaran tembak’ adalah orang-orang yang dianggap ‘tidak mempunyai susila’, seperti pekerja seks, waria, pekerja panti pijat, dll. Kegiatan pun tidak berjalan sistematis dan rutin. Hanya dilakuklan secara sporadis.
Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian yaitu yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan waria justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai ‘orang yang mempunyai susila”. Mereka itu ada yang menjadi suami, pacar, selingkuhan, dll. yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, rampok, dll.
Tapi, karena kita menganggap diri sebagai orang yang bermoral karena tidak termasuk ‘sasaran tembak’ maka semua fakta yang terkait dengan penularan HIV kita abaikan dan lebih senang mencari kambing hitam.
Biar pun epidemi HIV berkaitan dengan fenomena gunung es, tapi kita malah bangga dengan angka yang kecil dan membanding-bandingkannya dengan negara tetangga. Ketika banyak negara mulai bisa meredam kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa di negeri ini justru sebaliknya. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia dengan percepatan kasus yang cepat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H