Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

AIDS (yang) Tersembunyi di Masyarakat Kota Blitar

26 November 2010   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:17 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesulitan Mendata Penderita AIDS.” Ini judul berita di Harian ”SURYA”, Surabaya (25/11-2010). Disebutkan: Upaya Pemkot Blitar, Prov Jawa Timur, untuk meminimalisasi penularan HIV/AIDS terkendala minimnya data penderita. Hal ini diakibatkan umumnya para penderita AIDS bersikap tertutup dan malu memeriksakan diri. Di Kota Blitar sudah terdeteksi 40 kasus HIV/AIDS, 30 di antaranya meninggal.

Pernyataan di atas tidak akurat. Pertama, tidak ada kaitan langsung antara ’minimnya data’ dengan meminimalisasi penularan HIV. Kedua, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV atau pada masa AIDS tidak tertutup dan tidak malu untuk berobat. Ketiga, data menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari sehingga banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Penduduk yang sudah terdeteksi HIV dan pada masa AIDS tidak akan menularkan lagi kepada orang lain karena melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV mereka diberikan pengarahan agar mulai dari mereka penularan HIV dihentikan. Yang menjadi persoalan besar adalah penduduk, khususnya laki-laki ’hidung belang’, yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Blitar, dr Ngesti Utomo, mengatakan, jmlah penderita penyakit mematikan ini mencemaskan karena dari hari ke hari angkanya terus meningkat. Perlu diketahui pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah dengan kasus baru. Begitu seterusnya sehingga laporan kasus tidak akan pernah turun.

Angka kasus yang dilaporkan itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Angka itu jauh lebih besar jika ada di antara penduduk Kota Blitar, khususnya laki-laki, yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tetular HIV di wilayah Kota Blitar, di luar Kota Blitar atau di luar negeri.

Perilaku berisiko adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran, yang mengkal di losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (seperti, ’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL, ’selingkuhan’, gundik, ’ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Ngesti mengatakan, pihaknya akan tetap melakukan beberapa upaya dalam rangka menekan penularan HIV/AIDS, di antaranya dengan melakukan deteksi dini dengan survei acak golongan risiko. Langkah ini dikenal sebagai survailans tes HIV yaitu kegiatan untuk mendapakan angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula.

Sekarang epidemi HIV tidak lagi terkonsentrasi pada kalangan atau golongan tertentu tapi sudah merata di masyarakat. Dalam kaitan ini yang harus dilakukan oleh Pemkot Blitar adalah mendorong penduduk, khususnya laki-laki, yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko untuk menjalani tes HIV secara sukarela. Kian banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka semakin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

Selain itu Pemkot Blitar pun perlu merancang mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil. Mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil bisa mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Selain itu ibu-ibu hamil dan suami mereka pun bisa ditangani secara medis. Celakanya, di Indonesia tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan laki-laki dewasa dan ibu-ibu hamil.

Kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki dewasa di Kota Blitar akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. Apakah Pemkot Blitar menunggu AIDS meledak dulu baru merancang penanggulangan dengan cara-cara yang konkret? Pilihan ada di tangan Pemkot Blitar. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun