Penggunaan kata 'menyimpang' dalam kaitan dengan (hubungan) seks adalah bahasa moral. Dalam kaidah seks secara biologis tidak ada yang menyimpang. Kalau homoseks dan zina disebutkan sebagai penyimpangan seks maka analoginya adalah perselingkuhan, 'kumpul kebo', dll. juga penyimpangan.
Dalam artikel "MIRAS DAN FREE SEX REMAJA, Dalam Perspektif Sosial Budaya [Mudjahirin Thohir, http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/06/miras-dan-free-sex-remaja/ - 16/3-2009] juga disebutkan " .... menurut seksolog dokter Naek L. Tobing, seks bebas adalah kehidupan primitif. 'Seks bebas terjadi sebelum agama-agama lahir'". Wah, apakah di zaman Nabi Adam tidak ada agama? Apakah agama hanya ada di zaman nabi-nabi yang dikenal dengan ajaran agama saja? Pernyataan itu menyesatkan.
Regulasi Pelacuran
Disebutkan pula " Ketika peradaban semakin maju, dan ilmu pengetahuan berkembang, seks bebas ternyata terbukti membawa banyak persoalan. Selain merusak tatanan sosial juga menyebarkan berbagai penyakit gawat." Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gawat disebutkan al. berbahaya. Nah, dari catatan medis menunjukkan penyakit-penyakit yang berbahaya justru tidak terkait langsung dengan 'seks bebas' (baca: zina). Penyakit yang mematikan, seperti demam berdarah, flu burung, flu babi, malaria, diare, kolera, dll. sama sekali tidak ada kaitannya dengan 'seks bebas'. HIV/AIDS bukan penyakit yang mematikan karena kamatian pada orang-orang yang tertular HIV adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik.
Salah satu cara untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan cara menghindari pergesekan langsung antara penis dan vagina. Ini al. dapat dilakukan dengan memakai kondom.
Yang dianjurkan adalah memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko di dalam atau di luar nikah yaitu kalau melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Maka, penggunaan istilah 'kondomisasi' sebagai bentuk dari upaya pemerintah untuk memasyarakatkan kondom sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko di dalam dan di luar nikah tidak pas. Lagi pula tidak satu pun negara di dunia ini yang memaksa penduduknya untuk memakai kondom sebagai kegiatan massal dalam pencegahan HIV. Semua dilakukan dalam bentuk sosialisasi.
Program 'wajib kondom 100 persen' yang didengung-dengungkan di Indonesia merupakan pengekoran terhadap program di Thailand. Program itu dilakukan di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Program itu ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Kalau kemudian disampaikan bahwa di negara-negara yang sudah lama menganjurkan kondom tetap ada kasus HIV itu terjadi karena banyak orang yang enggan memakai kondom pada hubungan seks berisiko di dalam atau di luar nikah. Soalnya, tidak ada sanksi hukuman bagi orang yang tidak mau memakai kondom Begitu juga dengan di Thailnd. Yang kena sanksi bukan 'laki-laki hidung belang', tapi germo atau induk semang pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular sekual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) itu menandakan ada pelanggan yang tidak memakai kondom. Germo akan mendapat sanksi berupa teguran sempai kepada pencabutan 'izin' usaha.
Indonesia mengambil program itu secara 'telanjang'. Bahkan, menjadi bagian dari peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS di beberapa daerah. Program ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia karena di sini tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang 'resmi'. Perlu diingat tidak ada negara yang 100 persen melegalkan pelacuran. Pendirian lokalisasi pelacuran di beberapa negara dilakukan terkait dengan aspek kesehatan masyarakat. Kesehatan, terutama penyakit IMS pada pekerja seks di lokalisasi pelacuran dikontrol.
Celakanya, Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS secara nasional di Thailand. Program 'wajib kondom 100 persen' itu adalah urutan kelima dari rangkaian program penanggulangan AIDS di Negeri Gajah Putih itu. Semua program dijalankan secara simultan. Sedangkan di Indonesia program dijalankan secara sporadis.
Maka, tidak ada kaitan antara 'wajib kondom 100 persen' dengan kondomisasi. Tapi, di artikel yang dibahas dalam tulisan ini 'wajib kondom 100 persen' diartikan sebagai 'kondomisasi'. Yang diwajibkan memakai kondom adalah 'laki-laki hidung belang' yang 'main' dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran.