Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dolly Ditutup, PSK Tidak Langsung Merajalela Menyebarkan AIDS

5 November 2010   01:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:50 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana penutupan Dolly, lokalisasi pelacuran di Surabaya, Jawa Timur, terus berkumandang. Berita di ANTeve (4/11-2010) menyebutkan bahwa salah satu alasan penutupan Dolly adalah karena telah terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS.

Lagi-lagi pernyataan itu menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap epidemi HIV sebagai fakta medis. Apakah ada bukti konkret bahwa penduduk Surabaya yang terdeteksi HIV tertular HIV di Dolly?

Lagi pula bisa saja penduduk Surabaya tertular HIV di luar Surabaya atau di luar negeri. Ini bisa terjadi karena tidak ada jaminan kalau penduduk Surabaya pergi ke luar kota atau ke luar negeri akan menghindari hubungan seksual yang berisiko. Penduduk Surabaya yang tertular HIV di luar kota Surabaya atau di luar negeri akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Surabaya.

Pertama, tidak ada kaitan langsung antara lokalisasi pelacuran dengan penularan HIV. Di negara-negara yang tidak ada lokalisasi pelacuran dan hiburan malam tetap saja ada kasus HIV dan AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, sudah dilaporkan lebih dari 13.000 kasus AIDS.

Kedua, kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi di kalangan pekerja seks komersial (PSK) di Dolly ada kemungkinan ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal (Surabaya) atau pendatang. Ini menunjukkan kasus HIV dan AIDS sudah ada di masyarakat tapi tidak atau belum terdeteksi. Ini sudah terbukti karena banyak kasus HIV dan AIDS terdeteksi di kalangan istri.

Ketiga, bisa pula terjadi PSK yang beroperasi di Dolly sudah mengidap HIV ketika mereka tiba di Dolly. Kondisi ini akan membuka risiko besar bagi laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Surabaya jika mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

Ketiga, penyebaran HIV tidak hanya monopoli PSK di lokalisasi, dalam hal ini Dolly. Mata rantai penyebaran HIV bisa saja penduduk Surabaya yang tertular HIV di Dolly atau tempat lain di Surabaya atau luar Surabaya.

Keempat, selama ini ada kesan bahwa yang disebut pelacur (PSK) hanyalah perempuan yang praktek di lokalisasi. Ini yang menyesatkan karena (praktek) pelacuran terjadi di mana saja dan kapan saja di Surabaya. Praktek pelacuran adalah hubungan seksual di luar nikah dengan imbalan atau tanpa imbalan di luar lokalisasi.

Kelima, perempuan-perempuan yang melakukan praktek pelacuran disebut sebagai ‘PSK tidak langsung’. Mereka ini luput dari ’sasaran tembak’ karena tidak praktek di lokalisasi. Ada kesan ‘PSK tidak langsung’ tidak menyebarkan HIV karena mereka bukan pelacur yang praktek di lokalisasi.

Jika Pemprov Jawa Timur menutup semua lokalisasi pelacuran di Jawa Timur, apakah Pemprof Jatim bisa menjamin bahwa tidak akan ada praktek pelacuran?

Kalau jawabannya YA, maka penutupan lokalisasi akan bermanfaat menekan laju penyebaran HIV.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka persoalan besar akan dihadapi Pemprov Jatim karena praktek pelacuran dengan PSK tidak langsung akan menjadi mata rantai penyebaran HIV yang sangat potensial.

Lokalisasi pelacuran merupakan salah satu cara memutus jembatan penyebaran penyakit dari PSK ke masyarakat dan sebaliknya. Ini terkait dengan aspek kesehatan masyarakat. Di Denpasar, Bali, misalnya, Yayasan Kerti Praja, setiap hari Jumat ’menjemput’ PSK untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan mendapatkan penyuluhan tentang peranan mereka memutus mata rantai penyebaran penyakit. Soalnya, laki-laki ’hidung belang’ menjadi jembatan penyebaran penyakit dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke masyarakat.

Sampai sekarang sudah ada tiga peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS di Jawa Timur, tapi tidak bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menekan laju infeksi HIV baru. Ini terjadi karena Perda Prov Jatim No. 5/2004, Perda Kota Probolinggo No. 9/2005 dan Perda Kab Malang No 14/2008 tidak menyentuh akar persoalan epidemi HIV. Yang ditonjolkan hanya pasal-pasal yang moralistis.

Jika Dolly ditutup: Apakah kasus infeksi baru HIV akan turun atau malah naik? Kita tunggu saja. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun