Di Indonesia jamu sudah dikenal sejak lama. Tidak mengherankan kalau kemudian dunia pendidikan tinggi pun menaruh perhatian yang besar terhadap obat dari tanaman. Peneliti di Universitas Nasional Singapura, misalnya, sudah sejak lama mengembangkan 75 jenis sari tanaman yang juga sudah lama dipakai sebagai obat tradisional di daratan Cina, Indonesia dan Jepang.Â
Sari tanaman itu juga terbukti dapat menahan atau menghambat laju pertumbuhan HIV di dalam darah. Lima di antara 75 jenis tanaman itu ternyata tanaman asli Indonesia yaitu delima (Punica granatum L.), sambilata (Andrographis paniculata, Ness.), sidawayah (Woodfordia floribunda, Salisb.), tapak liman (Elephantopus scaber L.) dan trengguli (Cassia fistula L.).Â
Cina sendiri rupanya sejak lama sudah jauh lebih maju dalam mengembangkan tananam sebagai obat, termasuk obat untuk HIV/AIDS. Paling tidak ada 103 jenis obat yang diolah dari rempah-rempah yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan HIV/AIDS.
 Salah satu obat yang dikenal di Cina sebagai "Sing Ming Quan Gao Zi" atau FESOL (The Fluid Extract of The Spring of Life atau ‘sumber kehidupan') yaitu sari cair tanaman dilaporkan sudah diujicoba sebagai obat anti-AIDS. Obat ini sudah diuji oleh badan penguji obat dan bahan kimia di Provinsi Yunnan, Cina,Obat tradisional ini sudah mendapat registrasi dari pemerintah Cina berdasarkan UU Pengaturan Obat dan Bahan Kimia Baru di Yunnan.Â
Bahkan Bureau of Traditional Chinese Medicines, Cina, sudah memberikan sertifikat standar kualitas ekspor untuk obat ini tahun 1996. Jadi, kalau kita tidak segera mengembangkan tanaman sebagai bahan baku obat maka tidak tertutup kemungkinan kita akan menjadi konsumen terbesar dari obat-obatan yang bahan bakunya justru berasal dari negeri ini.Â
Apalagi dikaitkan dengan kasus HIV/AIDS yang terus bertambah di Indonesia maka pada suatu saat akan diperlukan banyak obat. Sampai saat ini perkiraan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara 80.000 - 120.000. Angka ini tidak bisa dianggap main-main karena epidemi HIV terkait erat dengan aspek ekonomi dan sosial. Jika seorang anggota keluarga terinfeksi HIV maka diperlukan uang untuk membeli obat antiretroviral.Â
Kalau sudah mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi) maka biaya pengobatan bertambah karena akan muncul penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, jamur, TB, dll. Yang bersangkutan tidak dapat lagi bekerja dan anggota keluarga pun harus ada yang mengurusnya sehingga mempengaruhi penghasilan keluarga. Maka salah satu harapan jutaan penduduk dunia yang sekarang hidup dengan AIDS (Odha) pun antara lain berada di tangan ahli obat-obatan tradisional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H