Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penyebaran HIV/AIDS di Pangandaran

5 Oktober 2010   02:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:42 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Puluhan PSK Pangandaran Diperiksa, 8 Diduga Positif HIV/AIDS." Ini judul berita di Harian "Pikiran Rakyat", Bandung (3/10-2010). Data ini hanya merupakan angka bisu karena wartawan yang menulis berita ini tidak membawa fakta ke realitas sosial.

Kasus IMS (yaitu infeksi menular seksual artinya infeksi penyakit yang terjadi melalui hubungan seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) bukan PMS (penyakit menular seksual) seperti ditulis dalam berita ini, dan HIV pada pekerja seks komersial (PSK) ada dua kemungkinan.

Pertama, kasus IMS dan HIV pada PSK di Pangandaran ditularkan oleh laki-laki penduduk lokal atau pendatang (wisatawan). Ini berarti sudah ada kasus IMS dan HIV di masyarakat lokal. Kasus IMS bisa dilihat dari kasus IMS di puskesmas atau rumah sakit setempat. Laki-laki yang menularkan IMS dan HIV kepada PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV secara horizontal antar penduduk.

Kedua, PSK yang ‘beroperasi' di Pangandaran sudah mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus ketika tiba di Pangandaran. Artinya, mereka tertular di daerah lain. Kondisi ini membuat laki-laki ‘hidung belang' penduduk lokal dan wisatawan berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus jika melakukan hubungan seksual dengan PSK di Pangandaran tanpa kondom. Lak-laki yang tertular dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Disebutkan: "Sedikitnya 58 orang PSK di sejumlah tempat di wilayah Ciamis Selatan, Kab. Ciamis, diperiksa Dinas Kesehatan Kab. Ciamis. Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan lanjutan dari kegiatan Survei HIV/AIDS dan PMS pada Juli 2010."

Kegiatan survailans IMS dan HIV adalah untuk mencari angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang mengidap IMS dan tidak mengidap IMS serta yang HIV-negatif dan HIV-positif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Maka, survailans yang dilakukan sekarang bukan lanjutan dari survailans Juli 2010 karena PSK yang dites IMS dan HIV pada Juli 2010 belum tentu yang menjalani tes sekarang.

Perpindahan PSK sangat tinggi karena mereka harus selalu dianggap ‘barang baru' di satu lokasi atau lokalisasi pelacuran. Maka, tidak mengherankan kalau seorang PSK ditanya sudah berapa lama di lokasi atau lokalisasi itu dia selalu mengatakan waktu di bawah empat bulan: "Baru dua bulan."

Ada pernyataan yang menyebutkan: " .... hasil survei Juli lalu, sebanyak 8 PSK di Ciamis selatan diduga positif terkena HIV/AIDS. Karena itu, Dinas Kesehatan Kab. Ciamis kemudian melakukan pemeriksaan kembali." Karena survailans dilakukan dengan asas anonimitas (tidak ada tanda atau kode pada contoh darah yang menunjukkan pemilik darah) maka hasil survailans Juli 2010 tidak akan sama dengan hasil survailans yang baru dilakukan. Soalnya, PSK pemilik darah yang terdeteksi HIV-positif pada survailans Juli 2010 belum tentu masih ‘beroperasi' di Pangandaran ketika survailans tes September 2010.

Kepala Dinas Kesehatan Ciamis, drg. Dendy R Sukarjo, mengatakan: "Untuk melengkapi pemeriksaan terdahulu, kami sengaja melakukan pemeriksaan kembali. Seperti yang dilakukan Juli lalu kami pun kembali mengambil sampel darah mereka (PSK) untuk diperiksa." Persoalannya: Adalah apakah PSK yang dites Semptember 2010 juga PSK yang menjalani survailans tes pda Juli 2010?

Hasil survailans pada Juli 2010 berlaku pada kurun waktu itu, sedangkan hasil survailans September 2010 berlaku pula pada kurun waktu September 2010. Data itu bisa dibandingkan jika PSK yang menjalani tes pada Juli 2010 juga ikut menjalani tes pada September 2010.

Disebutkan pula oleh Dendy: " .... pemeriksaan atas orang terduga HIV/AIDS, tidak bisa dilakukan satu kali. Untuk memastikan seseorang terindikasi positif HIV, diperlukan pemeriksaan sedikitnya tiga kali pemeriksaan laboratorium. Ya, pemeriksaan sedikitnya harus tiga kali. Hal itu guna menghindari terjadinya kesalahan data serta menyakinkan hasil pemeriksaan sebelumnya."

Memang, standar prosedur operasi tes HIV yang baku setiap hasil tes HIV yang pertama harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, hasil tes pertama dengan ELISA dikonfirmasi dengan tes Western blot. Tapi, tes konfirmasi untuk keperluan diagnosis, sedangkan tes terhadap PSK yang dilakukan Dinkes Ciamis hanya untuk survailans sehingga tidak perlu dikonfirmasi. Angka prevalensi yang diperoleh dari survailans itu diperlukan untuk merancang kegiatan dan menjadi peringatan bagi laki-laki ‘hidung belang' agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan PSK di Pangandaran.

Tapi, perlu dingat bahwa tes konfirmasi harus dilakuan terhadap darah yang sama. Nah, apakah darah yang dites pada Juli 2010 juga sama dengan darah yang dites pada September 2010? Artinya, apakah PSK yang dites Juli 2010 juga persis sana dengan PSK yang dites September 2010?

Dalam berita yang ditonjokkan hanya HIV/AIDS. Ini menunjukkan ada unsur ‘sensasi'. Soalnya, tidak ada angka kasus IMS yang terdeteksi pada PSK di Pangandaran. Kasus IMS merupakan salah satu indikasi HIV/AIDS karena jika ada PSK yang mengidap IMS maka ada kemungkinan juga sekaligus mengidap HIV karena cara penularan sama.

Berita ini tidak menggugah kepedulian masyarakat terhadap epidemi IMS dan HIV karena data tidak digambarkan di tataran masyarakat. Misalnya, tidak ada data tentang pelanggan PSK di sana: perilaku mereka ketika melakukan hubungan seksual, profil pelanggan apakah mereka penduduk lokal, apakah mereka sudah brekeluarga, dll.

Dengan menggambarkan laki-laki pelanggan PSK maka masyarakat akan melihat risiko penyebaran HIV karena laki-laki ‘hidung belang' akan menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus secara horizontal di masyarakat.

Pada kurun waktu dari Juli - September 2010, jika seroang PSK meladeni tiga laki-laki setiap hari maka ada 1.440 laki-laki yang berisiko tertular HIV (8 PSK x 3 pelanggan x 20 hari x 3 bulan). Tentu saja dari jumlah ini ada laki-laki penduduk lokal. Kalau laki-laki penduduk lokal ada yang tertular HIV maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun