Dua berita di Harian ”Jambi Independent”:
(1) Tak Perawan, Tak Sekolah, Wacana Dewan Soal PSB (20/9-2010), dan
(2) Tujuan Baik Bisa Diterapkan, Tes Perawan, Kepsek Minta Dikaji Ulang (21/9-2010)
menunjukkan ketidakadilan karena diskriminatif. Usul untuk melakukan tes keperawanan terhadap calon siswi di sekolah negeri sebagai rancangan peraturan daerah (Raperda) Prov Jambi mengabaikan hak untuk mendapatkan pendidikan yang diatur UU dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maksiat adalah perbuatan yang melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb).
Dalam berita disebutkan, Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, Bambang Bayu Suseno, meniup wacana, yang dinilai kontroversial, yaitu menjadikan tes keperawanan sebagai syarat penerimaan siswa baru (PSB) tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi negeri di Jambi. Jika seorang gadis tidak perawan maka dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri.
Bias Gender
Pertama, wacana ini jelas diskriminatif karena hanya menjadikan perempuan sebagai ‘sasaran tembak’ (objek). Diskriminasi adalah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No 74 Tahun 1984. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbudaya dan bermoral karena melindungi perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Tapi, wacana di Jambi itu kembali membawa Indonesia ke jurang kenistaan melalui diskriminasi terhadap perempuan.
Kedua, jika kehilangan keperawanan terjadi karena hubungan seksual maka hal itu terjadi karena ada laki-laki yang memerawaninya. Untuk itu agar adil maka remaja putra pun harus menjalani tes keperjakaan. Tapi, karena yang mengajukan wacana itu laki-laki maka yang terjadi adalah bias gender. Di negeri yang mengagung-angungkan diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama ini ternyata perempuan sebagai makhluk Tuhan ditempatkan sebagai sub-ordinat laki-laki.
Ketiga, kerusakan keperawanan bisa terjadi karena perkosaan. Perkosaan adalah tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) karena menimbulkan luka dan duka yang mendalam sepanjang hidup korban. Celakanya, dalam kitab-kitab suci tidak ada ayat yang eksplisit mengatur hukuman bagi laki-laki pemerkosa. Ancaman hukuman pemerkosa di KUHP pun maksimal hanya 12 tahun.
Bahkan, di Perda Prov. Gorontalo No 10/2003 perempuan yang diperkosa di luar rumah antara pukul 12.00 – 04.00 justru terancam hukuman pidana karena melanggar aturan yang melarang perempuan keluar pada rentang waktu itu. Bandingkan dengan beberapa negara yang menerapkan hukuman mati bagi laki-laki pemerkosa. Tidak jelas, apakah di wacana yang diajukan anggota DPRD Prov Jambi ini kerusakan keperawanan karena perkosaan dianggap sebagai pengecualian?