"AIDS di Sulut 60 Persen Pengidap HIV adalah Pria." Ini judul berita di tribunnews.com (9/4-2010). Data ini dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)Â Provinsi Sulut. Fakta ini tidak banyak bicara karena tidak dibaw ke realitas sosial.
Apa kaitan antara pria pengidap HIV dengan masyarakat? Dalam epidemi HIV laki-laki merupakan mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, pacarnya, selingkuhannya, istri mudanya, atau pekerja seks komersial (PSK). Jika istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV dari ibu ke bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).
Tapi, perlu diingat penularan tidak otomatis karena HIV bukan penyakit genetika. Risiko terbesar penularan HIV dari seorang ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya terjadi pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Jika laki-laki pengidap HIV di Sulut menularkan HIV kepada PSK maka laki-laki 'hidung belang' di Sulut yang tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan PSK akan berisiko pula tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK juga akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Realitas sosial itulah yang perlu digambarkan dalam berita sehingga masyarakat bisa memahami data tersebut. Angka-angka kasus HIV/AIDS yang dipublikasikan itu tidak bermakna bagi masyaraka karena tidak dikaitkan dengan fakta penyebaran HIV di tataran realitas sosial.
Dalam berita itu Sekretaris KPA Sulut, Dr Meis SJ Tangel-Kairupan, mengatakan: " .... dari semua pengidap HIV/AIDS, sebagian besar akibat perilaku seks menyimpang, heteroseksual (hubungan sesama jenis)." Apa, sih, yang dimaksud dengan seks menyimpang? Jika 'seks menyimpang' diartikan sebagai seks di luar nikah atau zina dengan PSK, maka ini merupakan salah satu mitos (anggapan yang salah) tentang HIV dan AIDS.
Hubungan seks sebagai dorongan biologis tidak mengenal istilah 'seks menyimpang'. Apa pun bentuk dan sifat hubungan seks sah-sah saja. Jargon menyimpang adalah dari aspek norma, moral, agama dan hukum. Persoalannya adalah sama sekali tidak ada kaitan langsung antara 'seks menyimpang' dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, jika satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV (HIV-negatif) maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom di dalam atau di luar pernikahan ('seks menyimpang', 'seks bebas', selingkuh, 'jajan', 'kumpul kebo', homoseksual, dll.).
Disebutkan pula: "Angkanya, pengidap dari perilaku beresiko ini mencapai 70 persen. Kemudian berturut-turut disebabkan hubungan seks, alat suntik, keturunan bawaan dan faktor lainnya." Ini tidak akurat. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah yang tidak aman yaitu dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan pekerja seks tidak langsung (cewek bar, pemijat di panti pijat, 'cewek kampus', 'anak sekolah', dll.)
HIV bukan virus yang diturunkan secara genetika. HIV adalah virus yang menular. Dalam jumlah yang dapat ditularkan di dalam tubuh seseorang yang sudah tertular HIV terdapat pada: (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) cairan sperma atau air mani (laki-laki), (c) cairan vagina (perempuan), dan (d) air susu ibu/ASI (perempuan).
Disebutkan pula: "Langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya, pencegahan dalam bentuk promosi ke lingkungan terkecil (keluarga) akan HIV/AIDS, tindakan kuratif bagi pengidap, dan kegiatan lanjutan berupa pendampingan terus menerus, dukungan, bimbingan konsultasi serta upaya menggali potensi dan ketrampilan dari pengidap."
Persoalan besar yang dihapai adalah materi informasi HIV dan AIDS yang selama ini disampaikan ke masyarakat sama sekali tidak akurat karena dibalut dengan norma, moral dan agama. Yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan 'seks menyimpang', 'seks bebas', selingkuh, 'jajan', 'kumpul kebo', homoseksual, dll.
Selain menyebarluaskan informasi HIV dan AIDS yang akurat perlu pula pengaturan penggunaan kondom pada hubungan seksual dengan pekerja seks langsung dan tidak langsung di lokasi atau di luar lokasi pelacuran. Sayang, dalam Perda Prov Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS tanggal 22 Juli 2009 tidak ada pasal yang mengatur hal ini.
Padahal, Thailand sudah membuktikan terjadi penurunan jumlah kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks dengan PSK melalui program 'wajib kondom 100 persen' di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Yang terjadi di Sulut justru wacana untuk menutup tempat-tempat yang memungkinkan terjadi transaksi seks. Ini justru menyulitkan penanggulangan karena tidak bisa dikontrol. Laki-laki 'hidung belang' dengan leluasa menularkan HIV kepada PSK, selanjutnya PSK yang tertular menularkan HIV kepada laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Jika Sulut tetap mengedepankan norma, moral dan agama dalam menanggulangi epidemi HIV yang dikenal sebagai fakta medis, maka selama itu pula akan terjadi penyebaran HIV. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya sehingga mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H