Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

‘Pernikahan Singkat’ Antara Perempuan di Puncak dengan Laki-laki Asal Timur Tengah (Bisa) Mewariskan AIDS

21 September 2010   01:27 Diperbarui: 15 Januari 2017   17:04 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres, waktu itu, Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang wisatawan Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat. Dikabarkan wisatawan dati kawasan Timur Tengah datang ke daerah Puncak untuk mencari cewek sebagai istri dalam pernikahan singkat (Wapres Dituntut Minta Maaf atas Pernyataannya, KOMPAS, 1/7-2006).

Pernyataan Wapres itu bukan lagi sekedar ‘wacana’ karena di Kampung Blok Subur, sebuah desa di kawasan Puncak, Kab. Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1980-an sudah dikenal ‘kawin kontrak’ antara perempuan desa itu dan dari daerah lain dengan wisatawan asal Timur Tengah. Desa itu dikenal sebagai ‘Kampung Janda’. Sekarang ‘kawin kontrak’ sudah ‘merambat’ ke beberapa kampung di kawasan Puncak. Perempuan yang dikawinkan berasal dari berbagai daerah, seperti Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Indramayu yang dibawa oleh calo. Lama perkawinan bervariasi mulai dari hitungan jam, hari, minggu, bulan dan tahun.

Nikah Mut’ah

Di Jakarta pun kabarnya ada hotel uamg menyediakan ’paket perkawinan singkat’ yang disamarkan sebagai nikah mut’ah (nikah dengan perjanjian tentang lamanya waktu pernikahan). Pada pelatihan pemahaman HIV/AIDS untuk tokoh masyarakat dan tokoh agama yang diselenggarakan oleh Yayasan Pelita Ilmu (YPI) di Cisarua, Bogor (2003) penulis bertemu dengan seorang peserta yang ikut menjadi ’penghulu’ pada nikah mut’ah.

Dari sudut fikih pernikahan itu sah karena sudah memenuhi rukun nikah yaitu: (a) ada calon mempelai pria dan wanita, (b) ada wali, (c) ada saksi, dan (d) ada ijab dan kabul. Tentang wali mereka memakai wali hakim. Tapi, ketika penulis bertanya: Bukankah kalau janda harus menunggu masa idah (tiga bulah setelah cerai) baru boleh menikah lagi? ’Pak Penghulu’ tadi tidak bisa menjawab ketika penulis mengatakan bahwa perempuan yang mereka nikahkan ’baru’ diceraikan beberapa jam atau beberapa hari sebelumnya.

Di kala epidemi HIV sudah terdeteksi di semua negara maka ada kemungkinan seorang penduduk atau wisatawan menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk di satu negara atau antar negara.. Kalau wisatawan, dari dalam atau luar negeri, yang melakukan pernikahan singkat di Puncak itu HIV-positif maka selain meninggalkan anak yang memiliki gen yang lebih baik juga sekaligus menularkan HIV kepada ‘istrinya’. Selanjutnya, ‘istri’ yang diceraikannya setelah ‘nikah singkat’ itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kepada anak yang dikandungnya atau kepada wisatawan lain atau penduduk yang kelak mengawininya.

Ada salah kaprah dalam bentuk mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Disebutkan HIV menular karena zina, pelacuran, seks oral dan seks anal, ’jajan’, ’seks bebas’, selingkuh, serta homoseksual. Ini terjadi karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) selalu dibalut dengan moral sehingga tidak akurat. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif.

Banyak yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena mereka merasa tidak melakukan zina. Biar pun dilakukan dengan pekerja seks tapi mereka ‘menikah’dulu sehingga hubungan seks yang mereka lakukan sah. Ada lagi yang tidak merasa berisiko tertular HIV biar pun dia menikahi pekerja seks karena hubungan seks mereka lakukan di dalam ikatan pernikahan. Bahkan, dari sisi moral laki-laki yang menikahi pekerja seks tadi menjadi ‘pahlawan’, tapi dari sisi penularan HIV dia berisiko karena sebelum dinikahinya istrinya merupakan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu berganti-ganti pasangan.

Padahal, kegiatan mereka itu berisiko tinggi tertular HIV. Perempuan yang mereka ‘nikahi’ sering berganti-ganti pasangan sehingga berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah ‘menikah’ dengannya HIV-positif.

Persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penularan HIV tanpa disadari.

Laporan UNAIDS, menyebutkan sejak awal epidemi sampai Desember 2005 secara global tercatat 40,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Kematian mencapai 3,1 juta. Infeksi baru pada tahun 2005 mencapai 4,9 juta. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan Depkes 10.156, sedangkan kalangan ahli memperkirakan antara 80.000 – 120.000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun