Di pasal 8 ayat g disebutkan: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah didukung layanan berupa jaminan kesehatan bagi orang terinfeksi HIV.” Jaminan kesehatan secara umum berlaku untuk semua penduduk sebagai hak, tapi khusus untuk orang-orang yang terdeteksi HIV-positif ada beberapa hal yang harus ditanggulangi karena biayanya mahal, yaitu: tes CD4, obat antiretroviral/ARV (jika kelak tidak ada lagi donor asing), obat-obat infeksi oportunistik, biaya persalinan melalui operasi caesar, dll.
Di pasal 8 ayat d disebutkan: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah didukung layanan berupa skrining HIV pada sample darah .....” Selama ini unit-unit transfusi darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) sudah melakukan skrining HIV terhadap darah donor. Tapi, ada masalah besar karena skrining HIV terhadap darah donor tidak bisa menjadi jaminan karena hasil skrining bisa negatif palsu (HIV sudah ada pada contoh darah donor tapi tidak terdeteksi dengan rapid test atau ELISA). Ini sudah terjadi di sebuah rumah sakit di Malaysia. Seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalaui transfusi. Negeri jiran itu terpaksa membayar ganti rugi RM 100 juta dan pengobatan gratis seumur hidup bagi perempuan tadi.
Untuk itulah UTD PMI harus menerapkan ‘skrining’ awal terhadap donor yaitu diwajibkan menjawab pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasnagan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan?” Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor itu ditolak karena hasil skrining terhadap darahnya bisa negatif palsu sehingga berbahaya kalau ditransfusikan karena di dalam darah itu ada HIV tapi tidak terdeteksi.
Pasal 18 berbunyi: “Setiap orang yang menggunakan alat cukur, jarum suntik, jarum tato dan jarum akupuntur, secara bergantian wajib menggunakannya dalam keadaan steril.” Ini tidak tegas maka pasal ini sebaiknya berbunyi: a. “Setiap orang diwajbikan menggunakan alat cukur, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, dan jarum akupuntur yang steril atau yang baru.” b. “Setiap orang dilarang menggunakan alat cukur, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, dan jarum akupuntur secara bergantian.”
Pasal 19 disebutkan: “Semua kegiatan dan perilaku yang berpotensi menimbulkan penularan HIV dan AIDS wajib melaksanakan skrining sesuai dengan prosedur dan standar kesehatan yang baku.”, serta pasal 20: “Setiap orang yang berisiko tinggi terjadi penularan IMS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.”
Cara Baru
Kedua pasal itu bisa dijadikan satu pasal, yaitu: “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV dengan konseling.” Ada pula pasal yang berbunyi: “Setiap orang yang pernah atau sering memakai jarum suntik secara bergantian, seperti pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), diwajibkan menjalani tes HIV dengan konseling.” Ini untuk ‘menjaring’ penduduk yang sudah tertular HIV.
Pasal 21: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberikan informasi atau penyuluhan secara berkala mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua pekerjanya.”, dan pasal 22: “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi, wajib mendata pekerja yang menjadi tanggungjawabnya untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh petugas.”
Kedua pasal ini merupakan ‘jiplakan’ dari program yang dikembangkan Thailand untuk menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu melalui ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Dua pasal ini menunjukkan ambiguitas yang dibalut dengan moral. Tidak ada tempat yang berisiko HIV dan AIDS karena penularan HIV tergantung pada perilaku seks orang per orang.
Yang dilakukan pemerintah Thailand untuk memantau program di adalah tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) secara rutin terhadap pekerja seks di lokalisasi dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada pekerja seks yang meladeni laki-laki ‘hidung belang’ tanpa kondom. Pengelola lokalisasi dan rumah bordir akan diberi sanksi mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha. Ini tidak bisa dilakukan di Prov. Banten khususnya dan di Indonesia umumnya karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang mengantongi izin usaha.
Pasal 24: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuhnya kepada orang lain.”, dan pasal 25: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang dengan sengaja menularkan infeksinya kepada orang lain.” Persoalan besar pada epidemi HIV adalah lebih dari 90 persen kasus penularan HIV justru terjadi tanpa disadari. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Yang biasa didonorkan adalah sperma bukan air mani atau cairan sperma. Di dalam sperma tidak ada HIV sehingga tidak perlu dicantumkan dalam perda.