Pemkot Samarinda menelurkan peraturan daerah (Perda) No 3/2009 tanggal 3/6-2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Samarinda. Ini perda yang ke-30 dari 37 perda AIDS yang sudah diundangkan di Nusantara mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Di Kalimantan Selatan sampai Maret 2010 dilaporkan 167 kasus HIV dan AIDS yang terdiri atas 118 HIV dan 49 AIDS, dari angka ini di Banjarmasin dilaporkan 28 kasus. Apakah perda ini bisa mengendalikan penyebaran HIV di Kota Samarinda?
Pertanyaan itulah yang selalu muncul terhadap perda AIDS karena fakta menunjukkan perda-perda AIDS yang sudah ada tidak menyentuh akar persoalan dalam epidemi HIV. Persoalan besar dalam epidemi HIV adalah penyebaran yang terjadi secara horizontal melalui hubungan seks tidak bisa dikendalikan. Hal ini terjadi al. karena: (a) orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisiknya, dan (b) penggunaan kondom yang tidak konsisten pada hubungan seks yang berisiko (hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan pelaku kawin-cerai).
Risiko Tinggi
Ide pembuatan perda penanggulangan AIDS di Indonesia bermula dari kabar tentang keberhasilan Thailand menurunkan insiden penularan HIV di kalangan laki-laki dewasa melalui hubungan seks. Thailand menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
’Angin sorga’ itu pun bertiup kencang ke Indonesia. Adalah Pemkab Nabire, Papua, yang pertama kali menerbitkan perda penanggulangan AIDS pada tahun 2003. Memang, dalam beberapa perda program Thailand itu dimasukkan sebagai bagian dari penanggulangan AIDS.
Tapi, program itu tidak bisa jalan di Indonesia karena tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang ’resmi’ sehingga pemantauan program itu tidak akan bisa dilakukan. Pemerintah Thailand memantau program itu melalui pekerja seks yang bekerja di lokalisasi dan rumah bordir melalui tes IMS secara rutin. IMS dalah infeksi menular seksual, sepreti GO, sifilis, hepatitis B, klamidia, dll. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan pekerja seks tadi meladeni laki-laki tanpa memakai kondom ketika sanggama. Germo diberi sanksi mulai dari teguran sampai penutupan usahanya.
Karena di Indonesia lokalisasi pelacuran dan rumah bordir atau industri hiburan malam yang menyediakan pekerja seks tidak mempunyai izin maka tidak mungkin memberikan sanksi penutupan usaha.
Nah, karena di Indonesia tidak ada izin usaha resmi untuk pengelolaan lokalisasi pelacuran dan rumah bordir maka biar pun ada program di perda tapi tidak akan efektif kerena mekanisme untuk memantaunya tidak ada. Yang diancam justru pekerja seks. Tapi, dalam perda-perda AIDS di Indonesia tidak ada mekanisme pemantauan yang akurat sehingga ’wajib kondom’ pun hanya ’macan kertas’.
Pada pasal 1 ayat 26 disebutkan: ”Surveilans HIV atau sero-surveilans HIV adalah kegiatan pengumpulan data tentang infeksi HIV yang dilakukan secara berkala.” Survailans tes HIV adalah langkah yang ditempuh untuk mengetahui prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula. Dalam perda tidak jelas siapa sasaran survailans sehingga tidak jelas langkah yang ditempuh dalam menjalankan survailans. Survailans dilakukan melalui skrining rutin, survailans sentinel dan survailans khusus. Malaysia, misalnya, menjalankan skrining rutin terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), perempuan hamil, polisi, narapidana, darah donor, dan pasien TB. Maka, tidak mengherankan kelau kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia mendekati angka ril. Dengan penduduk 20-an juta sudah dilaporkan 40.000-an kasus. Bandingkan dengan Indonesia dengan penduduk 240 juta baru dilaporkan 20.564 kasus.
Yang terjadi di Indonesia sasaran tembak survailans adalah pekerja seks, waria dan karyawan panti pijat. Celakanya, angka yang diperoleh tidak dibawa ke realitas sosial. Artinya, kasus yang terdeteksi tentu terkait langsung dengan penduduk lokal. Ada dua kemungkinan. Pertama, pekerja seks, waria dan karyawan panti pijat yang terdeteksi HIV-positif bisa saja tertular dari penduduk lokal. Kedua, bisa juga mereka sudah mengidap HIV ketika datang ke daerah tsb. Dua kemungkinan ini tetap mengundang risiko karena ada interaksi (seksual) dengan penduduk.
Di pasal 5 ayat h disebutkan: ”Penanggulangan HIV/AIDS dilakukan melalui rehabilitasi sosial bagi kelompok resiko tinggi.” Ini tidak jelas. Soalnya, tidak ada kelompok atau kalangan yang berisiko karena risiko tertular HIV tergantung kepada perilaku seks orang per orang. Seorang pekerja seks sekali pun bisa tidak berisiko kalau dia hanya mau meladeni setiap laki-laki, termasuk suami dan pacarnya, yang memakai kondom ketika sanggama. Lagi pula yang menularkan HIV kepada ’kelompok risiko tinggi’ (baca: pekerja seks) justru laki-laki. Bisa penduduk lokal atau pendatang. Mereka bisa sebagai seorang suami, lajang, duda atau remaja dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai pegawai, aparat, karyawan, mahasiswa, sopir, nelayan, copet, rampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Nah, biar pun ’kelompok risiko tinggi’ direhabilitasi laki-laki yang sudah mengidap HIV tetap menjadi penyebar HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.