“Tentara dan Polisi Rawan Tertular HIV/AIDS.” Ini judul berita di TEMPO Interaktif (15/08/2010). Berita ini lagi-lagi menyiratkan mitos (anggapan yang salah) karena kerawanan terhadap HIV bukan karena pekejaan, suku, agama, ras, kondisi lingkungan, tempat tinggal, hubungan dengan keluarga, dll., tapi karena perilaku seks orang per orang.
Dalam berita disebutkan: “ .... tentara dan polisi termasuk profesi yang berisiko tinggi tertular HIV dan AIDS. Penyebabnya, antara lain, mereka sering berpisah dengan istri dalam waktu yang lama.” Ini tidak akurat karena yang juah dari keluarga, dalam hal ini istri, bukan hanya tentara dan polisi. Pegawai negeri, karyawan, buruh, dll. juga banyak yang jauh dari keluarga. Penjaga menara mercu suar, misalnya, selama empat bulan hidup jauh dari keluarga di pulau-pulau terpencil atau di daratan yang jauh dari permukiman. Anak buah kapal berbulan-bulan terapung-apung di tengah lautan.
Risiko tertular HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan pelaku kawin-cerai. Ini merupakan perilaku orang per orang yang sama sekali tidak terkait dengan pekerjaan dan kondisi keseharian.
Buktinya, tentara Belanda yang menjadi bagian Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja bersama Indonesia tidak ada yang tertular HIV selama mereka bertugas di Kamboja. Sebaliknya, tentara Indonesia ada 11 yang ‘kepatil’ (tertular) HIV. Kalau diukur dari jarak maka jarak antara Amsterdam – Pnom Penh (kira-kira 35.000 km) lebih jauh daripada jarak antara Jakarta – Pnom Penh (kira-kira 10.000 km). Jika dipakai alasan jauh dari keluaga tentulah tentara Belanda yang paling banyak tertular. Tapi, faktanya lain. Tidak ada tentara Belanda yang tertular HIV.
Disebutkan pula: "Sehingga perlu kekuatan iman yang lebih besar untuk bertahan.” Ini salah satu kunci mengapa tentara Indonesia tertular HIV di Kamboja sedangkan tentara Belanda tidak ada yang tertular HIV. Pertama, tidak ada kaitan langsung antara iman. Dalam KBBI iman adalah 1. kepercayaan (yang berkenaan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, dll. 2. ketetapan hati; keteguhan batin; keseimbangan batin. Dalam kaitan pernyataan ‘kekuatan iman’ sebagai ‘benteng’ dikaitkan dengan perilaku seks yaitu hubungan seks di luar nikah. Jika lebih pas lagi pernyataan ini mengarah kepada pelacuran.
Ilustrasi/Admin (shutterstock)
Persoalannya, tidak semua hubungan seks sebagai zina dengan pelacur, tapi ada di antara mereka yang melakukannya dengan perempuan ‘baik-baik’ (baca: bukan pekerja seks di lokalisasi), seperti ‘cewek bar’ dan perempuan yang ditemui di berbagai tempat. Maka, ada di antara mereka yang menganggap tidak berisiko tertular HIV karena tidak dilakukan dengan pekerja seks. Soalnya, penyuluhan di Indonesia selalu menyebutkan pelacuran sebagai bagian dari penularan HIV. Wejangan tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama. Sedangkan tentara Belanda tidak hanya dibekali dengan iman dan bedil, tapi juga dibekali ‘senjata’ (baca: kondom) untuk ‘si buyung’.
Pernyataan lain: “ ..... memperkirakan jumlah anggota TNI yang tertular HIV/AIDS bisa lebih besar, karena TNI tak mempublikasikan data serupa di provinsi lain. Di tempat lain mungkin lebih besar, kita tidak tahu." Ini benar sehingga Kodam Cenderawasih tidak perlu kehilangan muka. Kondisi di kodam ini justru jauh lebih baik daripada kodam-kodam lain jika ditinjau dari aspek epidemiologi.
Di kodam-kodam lain yang belum ada data maka prajurit yang sudah tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antara penduduk secara diam-diam karena tidak disadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istirnya, pacaranya, selingkuhannya tau pekerja seks (horizontal). Jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal). Mata rantai penyebaran HIV akan terus terjadi jika prrajurit-prajurit yang sudah tertular HIV tidak terdeteksi. Prajurit yang sudah terdeteksi, seperti di Kodam Cenderawasih, menjadi kunci untuk memutus mata rantai penyebaran HIV karena mereka tidak akan menularkan kepada orang lain.
Disebutkan pula: “Secara nasional, Papua menjadi provinsi dengan jumlah penyandang HIV/AIDS keempat terbanyak. Di atasnya berturut-turut Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.” Jumlah kasus yang terdeteksi erat kaitannya dengan kegiatan penyuluhan yang berujung pada tes HIV. Penyuluhan di Papua yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan LSM sangat gencar. Sarana untuk tes HIV sukarela, disebut Klinik VCT, juga tersebar luas. Apakan hal serupa terjadi di kodam-kodam lain? Kalau jawabannya YA, maka kasus di Papua benar-benar lebih banyak dari daerah lain. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka kasus di daerah lain bisa lebih besar daripada kasus di Papua.
Celakanya, banyak pemerintah daerah, instantsi dan institusi menepuk dada jika kasus HIV/AIDS di daerah atau instansi mereka rendah atau kecil. Padahal, ini angka semu yang tidak menggambarkan realitas kasus di masyarakat karena tidak ada mekanisme yang mendorong penduduk melakukan tes HIV. Kasus-kasus HIV yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.
Ini kutipan: "Kita tidak tahu mereka tertular di mana. .... tidak benar bila Papua disebut tempat paling rawan dalam penularan HIV/AIDS.” Benar. Lain halnya kalau tentara yang akan bertugas di Papua dites terlebih dahulu. Tapi, ini pun berisiko karena kalau mereka dites pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi terdeteksi).
Disebutkan pula: “Untuk mengatasi penularan HIV/AIDS di kalangan prajurit, TNI telah menyusun strategi lima tahunan, mencakup tindakan pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi.” Pertanyaannya: Apakah materi pencegahan diberikan secara faktual? Kalau jawabannya YA maka pencegahan akan berhasil menekan kasus-kasus infeksi HIV baru. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka kasus infeksi HIV baru akan terus terjadi karena para prajurit tidak mengetahui cara pencegahan yang akurat.
Ada pula pernyataan: “Menurut Komisi Penanggulangan AIDS, profesi lain yang juga berisiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah pelaut serta pekerja pertambangan dan kehutanan. Kebiasaan dan perilaku seks tidak aman, misalnya berganti pasangan tanpa memakai kondom, menjadi salah satu media penularan HIV/AIDS di kalangan orang berprofesi seperti ini.” Yang membuat seseoran berisiko tertular HIV adalah berganti-ganti padangan tanpa kondom. Ini perilaku seks orang per orang. Maka, risiko tertular HIV bukan karena (jenis) pekerjaan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H