Kalau darah hasil skrining di PMI positif maka tidak ada persoalan karena darah itu tidak dipakai. Tapi, kalau hasilnya negatif palsu maka ini yang membuat celaka. Hasil tes negatif tapi HIV sudah ada di dalam darah.
Kalau saja PMI mau menerapkan tes awal kepada calon donor maka masa jendala bisa dihindari. Dalam formulir isian harus ada pertanyaan: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berhganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan? Kalau jawabannya di bawah tiga bulan maka donor ditolak karena hasil skrining bisa negatif atau positif palsu.
Sayang, yang ditanya PMI ke calon donor adalah: Kapan Anda terakhir ke luar negeri? Kalau pertanyaan ini masih ada di formulir isian calon donor maka PMI sudah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) yang mengesankan semua penyakit, khususnya HIV/AIDS, berasal dari luar negeri.
Pemerintah Malaysia terpaksa membayar dengan RM 100 juta kepada seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi di rumah sakit kerajaan. Untuk menghindari kejadian serupa Malaysia menerapkan standar ISO untuk laboratorium transfusi. Apakah PMI sudah mempunyak standar baku sekelas ISO?
Ternyata untuk urusan kemanusiaan pun kita tidak bisa konsekuen dan konsisten. Kewajiban darah diganti darah tidak berlaku umum. Ini salah satu bentuk diskriminasi. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H