Kasus-kasus pelecehan seksual terus terjadi di negeri yang selalu menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama ini. Bandingkan dengan negara-negara yang yang tidak berkoar-koar sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tapi pelecehan seksual jarang terjadi.
"Apakah Anda tidak takut memakai pakaian minim begini?" Itulah pertanyaan saya kepada seorang cewek di jeepney (angkutan khas di Manila, Filipina) yang memakai rok mini sehingga CD-nya kelihatan. Soalnya, waktu itu jam menunjukkan pukul 03.30.
"Tidak. Ini ‘kan negara hukum!" Jawaban cewek itu membuat saya malu karena di negara saya yang berkoar-koar sebagai negara hukum tapi pelecehan (seksual) terhadap perempuan menjadi ‘budaya'.
Celakanya, di Indonesia selalu perempuan yang disalahkan. Simak pendapat Agung, seorang mahasiswa di Jakarta, yang diwawancarai TVOne (18/7-2010). Dengan membusungkan dada dia mengatakan bahwa pelecehan bisa terjadi karena perempuan memakai pakaian yang seksuali. Waduh, orang ini rabun?
Korban pelecehan di bus Transjakarta (14/7-2010) memakai jilbab dan celana panjang. Auratnya tertutup rapat. Di beberapa daerah ada korban perkosaan (disebut pencabulan, ini membuat tuntutan jadi ringan) justru memakai pakaian yang menutup aurat. Bagaimana ini Bung Agung?
Lagi pula kalau pun ada seorang perempuan yang memakai pakaian yang seksuali, apakah ada UU yang membenarkan seorang pria mencoleknya? Saya teringat kepada kasus yang menimpa beberapa pegawai sebuah instansi penegak hukum yang sedang kuliah di sebuah universitas di AS. Mereka terpaksa berurusan dengan penegak hukum di sana karena pengaduan seorang perempuan karyawan universitas itu yang merasa dilecehkan dengan kata-kata.
Ya, di Indonesia hal itu lumrah dan menjadi ‘budaya'. Bahkan, colek-mencolek pun menjadi pemandangan yang biasa. Lihat saja kondektur bus kota. Mereka dengan ringan tangan akan memegang bahu atau pundak perempuan yang akan naik. Mengapa mereka tidak membantu penumpang laki-laki?
Di terminal-terminal bus kondektur dan calo selalu menarik tangan dan mendekatkan mukanya ke wajah penumpang cewek. Bagi mereka hal itu lumrah, tapi dari aspek norma, moral, agama dan hukum hal itu merupakan pelanggaran. Di terminal yang daerahnya mengedepankan syariat agama pun terjadi pelecehan terhadap calon penumpang cewek.
Pelaku pelecehan di bus Transjakarta hanya dijerat dengan KUHP, yaitu Pasal 282 tentang pelecehan seksualual dan Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pelecehan seksual merupakan perbuatan yang tergolong extra ordinary crime karena meninggalkan beban fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Tapi, di negeri agaknya pelecehan seksual dan perkosaan hanya sebagai kejahatan umum atau biasa.
Jika tetap memakai KUHP ada baiknya kalau hukuman terhadap pelaku pelecehan seksual dan perkosaan dilakukan dengan akumulasi. Semua pasal yang dituduhkan dijumlahkan agar hukumannya berat.