Banyak kalangan, mulai dari pakar, pengamat, dll. yang bicara melalui media massa, seperti surat kabar, televisi dan online selalu mengatakan bahwa perbuatan pelaku paedophilia merupakan pengulangan karena mereka pernah menjadi korban.
Pernyataan-pernyataan itu akan dipakai oleh paedophilia sebagai pembenaran tindakan mereka melakukan sodomi (hubungan seksual penis ke anus) atau hubungan seks vaginal secara paksa.
Sodomi bukan seks anal seperti yang dikenal di kalangan laki-laki gay dengan orientasi seksual sebagai homoseksual. Sodomi adalah istilah hukum yang digunakan untuk merujuk kepada tindakan seks yang “tidak alami”, yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks analatau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secaraheteroseksual,homoseksual, atau antara manusia dan hewan (http://id.wikipedia.org/wiki/Sodomi).
Seks Anal bukan Zina
Sodomi tidak hanya dilakukan oleh paedophilia, tapi juga oleh kalangan heteroseksual karena sodomi merupakan bentuk kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual melalui anal.
Sedangkan seks anal selain dilakukan pasangan gay juga menjadi “variasi” hubungan seksual pada sebagian pasangan suami-istri.
Ada yang beranggapan seks anal, di dalam dan di luar nikah, bukan zina karena zina adalah hubungan seksual suka sama suka antara laki-laki dan perempuan melalui seks vaginal.
Pengalaman penulis menjadi teman “curhat” seorang cewek penghibur di bilangan Jalan Blora, Jakarta Pusat, di akhir tahun 1990-an, menunjukkan laki-laki asal kawasan Timur Tengah sering melakukan seks anal. Menurut cewek tadi laki-laki tsb. Mengatakan bahwa seks anal, di kalangan cewek-cewek di Jalan Blora disebut “bool”, bukan zina.
Sedangkan penelitian di Surabaya terhadap laki-laki beristri (heteroseksual) yang melakukan hubungan seksual dengan waria menunjukkan suami-suami itu justru jadi “cewek” artinya dianal oleh waria.
Koq, bisa?
“Ya, menurut suami-suami itu mereka tidak mengingkari cinta karena tidak memakai penis,” kata seorang aktivis LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di Surabaya.
Paedophilia tidak otomatis merupakan laki-laki gay (orientasi seksual laki-laki sebagai homoseksual yang tertarik kepada laki-laki) karena paedophilia juga melakukan hubungan seksual dengan anak perempuan.
Seperti yang dikatakan oleh Emon, pelaku sodomi di Sukabumi, Jabar, “Saya juga pernah jadi korban.” Pernyataan Emon ini sebagai pembenaran terhadap tindakannya. Bahkan, kutipan pernyataan Emon disebarluaskan oleh media massa, terutama televisi, yang bisa jadi akan dipakai orang-orang yang melakukan sodomi sebagai pembelaan diri.
Dari 114 anak yang dilaporkan orang tuanya, Emon melakukan sodomi kepada 22 anak, sembilan anak hanya melihat, 32 anak dilecehkan, 21 anak ketemu Emon tapi tidak diapa-apakan, 4 anak diraba-raba, 23 anak hanya dikhawatirkan orang tua menjadi korban Emon dan satu anak lainnya dianiaya (merdeka.com, 8/5-2014).
Bertolak dari pengakuan Emon tsb.: Apakah Polres Sukabumi melalukan visum terhadap Emon, dan pelaku lain yang ditangkap polisi, untuk membuktikan bahwa mereka pernah disodomi?
Ternyata tidak. Yang muncul hanya pengakuan dari pelaku.
Lalu, mengapa banyak kalangan yang selalu mengataka perbuatan paedophilia itu sebagai pengulangan dan balas dendam?
Daerah Tujuan Paedophilia
Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus-kasus sodomi akan terus terjadi karena pelaku akan berlindung di balik pernyataan pakar: “Saya juga dulu korban sodomi.”
Adalah lebih arif kalau kalangan pakar menyebutkan bahwa mereka sebagai korban merupakan salah satu faktor yang mendorong mereka melakukan sodomi. Artinya, faktor yang mendorong seseorang melakukan sodomi bukan hanya karena mereka pernah jadi korban sodomi.
Paedophilia adalah orientasi seksual di kalangan remaja dan dewasa dalam bentuk parafilia (orang-orang yang menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan cara-cara yang lain) yang tertarik kepada anak-anak laki-laki dan perempuan, umumnya berumur antara 6-12 tahun.
Yang perlu diingat adalah kalangan paedophilia tidak melakukan pemaksaan hubungan seksual (sodomi) karena mereka akan menjadikan anak-anak itu sebagai “kekasih” bak dalam percintaan.
Maka, pelaku sodomi adalah paedopihila yang tidak bisa melakukan “percintaan” dengan anak-anak sehingga perbuatan mereka melakukan sodomi atau perkosaan adalah perbuatan yang melawan hukum.
Berbeda dengan paedophilia yang “merawat” anak-anak untuk mereka jadikan pemuas seks sulit terungkap selama anak-anak tsb. atau orang tua mereka melaporkan hal tsb. ke polisi.
Hasrat parafilia datang secara alamiah karena berbagai faktor yang sudah ada dalam diri seseorang. Sama halnya dengan hasrat untuk melakukan hubungan seksual yang datang karena berbagai faktor bisa datang tanpa dirancang atau direncanakan.
Di salah satu daerah yang menjadi “tujuan” paedophilia laki-laki dewasa yang membawa anak-anak mereka membangun rumah dan melengkapinya dengan peralatan elektronik serta mengirimkan uang secara rutin. Biasanya, alasan yang diberikan kepada orang tua anak-anak itu adalah mereka akan merawat dan menyekolahkan anak-anak tsb. di negaranya.
Polri sendiri memetakan daerah rawan paedophilia asing di Indonesia dengan balutan pariwisata dengan sasaran seks anak ada di Bali, NTB, Jawa Timur, Batam, dan Jawa Barat (merdeka.com, 25/4-2014),
Selama pelaku sodomi tetap disebut sebagai korban, maka selama itu pula mereka akan memakai hal itu sebagai pembenar bagi tindakan mereka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H