Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Malaysia Bangun Mercusuar di Tanjung Datuk, Indonesia Murka

29 Mei 2014   23:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:58 2164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: en.republika.co.id

“Pertempuran” antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan kepemilikan pulau dan daerah di perbatasan kedua negara belum juga usai.

Setelah Pulau Sipadan dan Ligitan di Selat Makassar terbang ke pangkuan Malaysia karena kalah di Mahkamah Internasional (2002), muncul pula sengketa Ambalat, gugus pulau gosong dengan luas 15.235 kilometer persegi yang terletak diLaut Sulawesiatauyang dikabarkan menyimpan kekayaan minyak dan gas alam (2009). Ambalat jadi sengketa karena Ambalat dekat dengan perpanjangan perbatasan darat antara Sabah (Malaysia) danKalimantan Timur (Indonesia)

Biar pun dua pulau sudah lepas dari Ibu Pertiwi, tapi pemerintah Indonesia rupanya tidak menjadikan pengalaman pahit itu sebagai pelajaran yang berharga.

Buktinya, di depan pelupuk mata yaitu di Tanjung Datu, daerah di perbatasan dengan Malaysia di Kec Paloh, Kab Sambas, Prov Kalimantan Barat, yang merupakan wilayah RI berdasarkan perjanjian RI-Malaysia tahun 1969 justru ‘dibengal’ Malaysia dengan cara membangun mercusuar di sana (Lihat gambar)

Tanjung Datu itu sendiri disebutkan sebagai ‘daerah abu-abu’ karena terus dibelit sengketa. Ini menunjukkan diplomasi Indonesia di kancah Asean saja sangat lemah, apalagi di dunia internasional.

Agaknya, Malaysia belajar dari pengalaman pahit mereka ketika Mahkamah Internasional menyerahkan Pulau Pedra Branca, Malaysia menamainya sebagai Pulau Batu Puteh, kepada pemerintahan Singapura pada tahun 2008. Ini akhir dari persengketaan antara Malaysia dan Singapura yang dimulai tahun 1979.

14013551911870231988
14013551911870231988

Keputusan Mahkamah Internasional itu tidak diterima dengan lapang dada oleh rakyat Malaysia. Hal ini menjadi ‘duri dalam daging’ pada hubungan bilateral Malaysia dan Singapura.

Kalau disimak di peta, maka posisi Pulau Branca justru lebih dekat ke Tanjung Penyusop, Johor, Malaysia (7,7 mil laut) dan Tanjung Sading di Pulau Bintang, Indonesia (7,5 mil laut).

Pulau itu sendiri menjadi milik Kesultanan Johor, tapi Kesultanan Johor dan Malaysia tidak pernah memprotes Singapura atas pembangunan dan pengoperasian mercusuar di pulau tsb.

Pulau ini menjadi pintu masuk ke Selat Singapura. Sengketa berawal ketika Malaysia memasukkan Pulau Branca atau Pulau Karang Puteh ke dalam wilayah teritorial Malaysia dalam peta terbaru Malaysia.

Tapi, sidang Mahkamah Internasional memenangkan Singapura.

Mahkamah Internasional berpegang pada kenyataan yaitu secarade factobahwa sejak 130 tahun yl. Singapura mengoperasikan mercusuar Horsburgh di pulau karang tsb. Mercusuar adalah menara yang dibangun di pantai atau di pulau kecil di tengah laut, daerah berbatu karang, dsb, yang memancarkan sinar sebagai isyarat pada waktu malam hari untuk membantu navigasi pelayaran.

Hal yang sama terjadi pada mercusuar Tanjung Datuk yang merupakan petunjuk penting bagi pelayaran internasional dari perairan Indoensia yaitu Selat Karimata-Laut Natuna ke Laut Cina Selatan yang menuju ke Filipina, Vietnam, Jepang, Tiongkok, Taiwan dan Korea.

Sumber: suarakawan.com

Dikabarkan protes Indonesia membuat Malaysia menghentikan pembanungan tiang pancang mercusuar tsb.  Jakarta mendesak pembentukan Tim Teknis Delimitasi Batas Maritim kedua negara. Pembahasan akan dilakukan dalam waktu dekat di Jakarta.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Koq bisa-bisanya Malaysia membangun tiang-tiang pancang mercusuar di daratan di wilayah Indonesia?

Di sana ada RT, RW, lurah, camat, bupati, gubernur, panglima daerah militer, kepala polisi daerah, panglima armada barat, dst.

Pembangunan tiang pancang itu tidak dilakukan satu atau dua jam, satu atau dua hari, tapi berhari-hari. Maka, hal ini membuktikan patroli darat dan laut di sana ternyata tidak bisa memantau kegiatan fisik yang kasat mata. ***[Syaiful W. Harahap]*** (dari berbagai sumber).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun