Studi transportasi menunjukkan bahwa kota dengan penduduk di atas 1.000.000 jiwa sudah harus menggunakan angkutan umum atau transportasi massal dikenal sebagai MRT (mass rapid transit). MRT bisa berupa kereta api di bawah permukaan tanah, di atas permukaan tanah, atau melayang.
Dengan penduduk 9.603.417 jiwa di malam hari, Jakarta menjadi magnet bagi pekerja ulang-alik atau penglaju (commuters) dari berbagai kota mulai dari Bekasi, Karawang dan Purwakarta di belahan Timur, Depok, Bogor, dan Sukabumi di Selatan, serta Tengerang dan Serang di bagian Barat. Dengan jumlah pengulang-alik atau penglaju setiap hari yang mencapai 1.500.000, walhasil, penduduk Jakarta di siang hari mencapai 11,1 juta jiwa.
Itu artinya dibutuhkan sarana transportasi yang bisa membawa atau memindahkan penduduk kota dan penglaju dari satu tempat ke tempat lain dengan cara yang cepat dan aman. Dalam bahasa lain Prof Dr Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik di Unversitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, mengatakan soal MRT, dalam hal ini monorail: Apakah MRT dibutuhkan di Jakarta?
Andalkan Angkutan Massal
Jawaban pertanyaan itulah, menurut Prof Tjipta, yang menjadi pijakan Pemprov DKI Jakarta untuk mengembangkan MRT karena, ”Dari dulu saya selalu mengatakan MRT sangat dibutuhkan.” Tentu saja harapan Prof Tjipta ini menggambarkan harapan penduduk Jakarta dan pengulang-alik yang kian hari kian tinggi mobilitasnya.
Pernyataan Prof Tjipta itu terlontar pada acara ”Kompasiana Nangkring Bareng PT Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?” di Jakarta, 24/5-2014. Soalnya, menurut Prof Tjipta, kemacetan di Jakarta saat ini sudah sangat ”gila”. Kondisnya kian ”gila” karena tidak ada pilihan transportasi yang cepat, aman dan murah.
Dengan kondisi itu sistem transportasi yang dibutuhkan di Jakarta bukan untuk mengatasi atau mengurai kemacetan, tapi merupakan opsi atau pilihan. Artinya, biar pun kemacetan melanda Jakarta, tapi pergerakan atau perjalanan penduduk tidak terganggu.
Maka, transportasi di Jakarta harus dengan MRT. Kota, seperti Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, yang mengandalkan mobil pribadi dan sepeda motor menunjukkan kota itu ada negara dengan peradaban berkembang. Bandingkan Jakarta dengan Singapura, misalnya, yang sudah membangun jaringan MRT dari segala penjuru di kota pulau itu.
Salah satu ciri khas kota dengan peradaban lalu lintas yang maju adalah penduduknya mengandalkan angkutan umum, dalam hal ini MRT. Lihat saja di Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok. Penduduk di tiga kota itu mengandalkan MRT. Di sepanjang jalur MRT Kuala Lumpur, misalnya, stasiun menjadi kantong-kantong parkir.
Di kawasan Asean MRT pertama dioperasikan di Manila dalam berupa LRT (light rail transit), semacam monorail, kemudian Singapura mengoperasikan kereta api bahwa tanah tahun 1987, lalu Kuala Lumpur (2003) dan Bangkok (2004). Bangkok lebih maju karena kereta api ada dua yaitu bawah tanah dan melayang.
Rencana pembangunan sistem tranportasi massal di Jakarta sudah lama menjadi wacana, tapi baru tahun 2004 ada kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT Jakarta Monorail untuk membangun monorail dengan jalur yang akan terintegrasi dengan jalur kereta api bahwa tanah (Lihat Denah 1).
Celakanya, pembangunan jalur monorail tidak semulus perjalanan kereta di rel. Monorail Jakarta ada dua jalur dengan panjang 29 km yang direncanakan beroperasi tahun 2016.
Maka, pembangunan monorail pun terhenti dengan menyisakan tiang-tiang pancang, al. di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta Pusat. Penghentian proyek ini, seperti disebutkan oleh Dharmaningtyas, pengamat transportasi, bermula dari notifikasi Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (2011) ke pihak pelaksana proyek. Tapi, kajian yang mendalam menunjukkan jika proyek dihentikan, maka, ”Pemprov DKI Jakarta harus membayar ganti rugi kepada pihak pelaksana,” kata Lukas Hutagalung, Program Manajemen Spesialis di Bappenas.
Proyek monorail akan dikelola selama 30 tahun oleh PT Jakarta Monorail dalam bentuk BOT (build operate transfer). Artinya, setelah 30 tahun monorail milik Pemprov DKI Jakarta.
Pihak Independen
Akhirnya, pembangunan monorail pun mangkrak. Adalah Gubernur DKI Jakarta Jokowi Widodo (Jokwi) yang kemudian menjalin kerja sama dengan Jakarta Monorail untuk melanjutkan pembangunan monorail. Soalnya, Jokowi melihat kalau dihentikan maka pihaknya harus membayar Rp 240 miliar ke PT Adhi Karya dan PT Jakarta Monorail. Namun, kerja sama ini terantuk-antuk karena alasan yang tidak jelas yang di mata sebagian orang bermuatan politis, al. karena dikabarkan akan ada investor lain yang disebut-sebut lebih baik daripada PT Jakarta Monorail.
Wakil Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Basuk Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan panggilan Ahok, meragukan kemampuan keuangan PT Jakarta Monorail untuk melanjutkan pembangunan proyek tsb. Celakanya, Gub Jokowi sudah melakukan ground breaking kelanjutan proyek tanggal 16 Oktober 2013.
Namun, lagi-lagi Ahok melempar ”bola panas” dengan mengatakan bahwa tidak ada perjanjian kerjasama antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Jakarta Monorail. Tapi, Jhon tetap melihat alasan Ahok ”meributkan” pihaknya tidak realistis karena Ahok tidak membeberkan alasannya secara transparan.
Salah satu alasan Ahok adalah terkait dengan lahan seluas 200.000 meter persegi untuk stasiun monorail yang tertuang dalam perjanjian lama antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Jakarta Monorail. Lahan itu dikabarkan akan disewakan dengan harga Rp 25 juta/meter persegi per tahun. Ahok menduga uang dari persewaan inilah yang akan dijadikan PT Jakarta Monorail sebagai modal untuk membangun infrastruktur monorail.
Dugaan Ahok ditampik oleh Jhon Aryananda, Dirut PT Jakarta Monorail, ”Dana untuk melanjutkan proyek kami peroleh melalui konsorsium,” kata Jhon yang menunjukkan pihaknya tidak kekurangan dana untuk melanjutkan proyek tsb. Konsorsium yang dimaksud Jhon adalah perusahaan dari Tiongkok yang menyediakan dana 60 miliar dolar AS dan satu lagi dari Singapura yang menyiapkan dana 15 miliar dolar AS.
Untuk itulah perlu diambil jalan tengah yaitu mengikutkan pihak independen untuk mengkaji ulang proyek secara transparan. Tanpa kajian transparan yang dilakukan oleh pihak independen, maka penghentian proyek monorail bermuatan politis dan bisnis.
Padahal, kalau saja Ahok berpikir jernih monorail adalah hak publik untuk mendapatkan sarana transportasi yang nyaman dan aman. Ini merupakan kewajiban pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, untuk memenuhi hak penduduk Jakarta.
Di awal kerja sama penumpang diperkirakan 250.000 – 300.000 sehingga Pemprov DKI Jakarta meminta bantuan pemerintah untuk memberikan subsidi karcis sebesar 50 persen. Namun, hitung-hitungan untung rugi juga sudah jelas karena perkiraan penumpang per hati saat ini mencapai 600.000 sehingga sudah menutupi biaya operasional.
Maka, tidak ada pilihan lain bagi Ahok selain mempercepat pembangunan monorail dan kereta api bawah tanah (bahan-bahan dari ”Kompasiana Nangkring Bareng PT Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?” di Jakarta, 24/5-2014 dan sumber-sumber lain). ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H