Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Larangan Mobil Plat B Masuk ke Kota Bogor dan Kota Bandung

17 September 2014   22:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:24 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Cihampelas, Bandung, tujuan wisata di Kota Bandung (Repro: sebandung.com)

Kemacetan lalu lintas di Jakarta mulai ketika penglaju (commuters) yaitu orang-orang yang bekerja di Jakarta tapi tinggal di luar kota Jakarta. Mereka berasal dari kawasan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) masuk ke Jakarta dengan motor dan mobil.

Di ‘pintu-pintu’ masuk ke Jakarta, seperti di Kalimalang, Cakung, Kalideres, Tomang, dll. sepeda motor bak semut beriring. Begitu pula dengan di pintu-pintu tol arah Jakarta, seperti di Tomang, Taman Mini, Jatibening, dll. antrian mobil mengular.

Itu bukti bahwa kemacetan lalu lintas jalan raya di Jakarta justru terjadi karena penglaju yang datang ke Jakarta di pagi hari dan kembali ke permukiman mereka di sore sampai malam hari.

Maka, amatlah tidak masuk akal kalau kemudian Wali Kota Bogor, Jabar, Bima Arya Sugiarto, berencana akan melarang kendaraan bermotor dengan nomor polisi (plat) B masuk ke Kota Bogor (tribunnews.com, 17/9-2014).

Jumlah penduduk di wilayah seputar Jakarta yaitu Bodetabek, Cianjur, Sukabumi dan Serang diperkirakan menjadi 30 juta. Jika 10 persen saja yang bekerja di Jakarta, maka setiap hari ada ‘tambahan’ penduduk Jakarta sebanyak 3 juta jiwa.

Maka, penduduk Jakarta di siang hari mencapai 12,7 juta. Sedangkan penduduk ‘asli’ Jakarta yang disebut penduduk di malam hari berjumlah 9,9 juta.

Andaikan dari 3 juta penglaju itu memakai kendaraan sendiri, maka da 300.000 kendaraan bermotor yang meramaikan jalanan Jakarta. Itu artinya kemacetan pun kian menjadi-jadi karena jumlah penduduk Jakarta yang memakai kendaraan pribadi juga besar.

Laporan menunjukkan di tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya mencapai 16.043.689 unit yang terdiri atas 11.929.103 motor, 3.003.499 mobil, 360.022 bus, 617.635 mobil barang dan 133.430 kendaraan khusus (detiknews, 2/1-2014).

Ibu-ibu rumah tangga warga Kota Depok yang unjuk rasa menentang Joko “Jokowi” Widodo mencalonkan diri sebagai presiden dengan alasan Jokowi belum selesai membenahi Jakarta, al. banjir dan macet. Ada apa? Rupanya, suami, anak, istri dan menantu mereka kerja di Jakarta sehingga tidak aman bagi anggota keluarga mereka ketika pergi ke Jakarta. Nah, alangkah leganya Jakarta kalau penglaju dari Kota Depok ditampung oleh Pemkot Depok dengan memberikan pekerjaan sehingga mereka tidak lagi menyemuti Jakarta.

Soal kemacetan di Kota Bogor, dengan penduduk 800.000 jiwa, adalah masalah perkotaan.  Tidak ada kota besar di dunia yang bebas kemacetan, tapi mereka menyediakan angkutan massal (MRT) yang bebas macet, nyaman dan aman.

Nah, Kota Bogor sama sekali tidak menyediakan angkutan pilihan berupa MRT sehingga hanya mengandalkan angkot (angkutan kota) berupa kendaraan kecil dengan jumlah ribuan sehingga memacetkan jalanan.

Kabar lain datang dari Pemkot Bandung. Wali kota Bandung, Ridwan Kamil, meminta Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang dipanggil Ahok, untuk melarang warga Jakarta yang ingin ke Bandung dengan menggunakan kendaraan pribadi (merdeka.com, 16/6-2014).

Warga Jakarta yang mau piknik dan kunjungan keluarga ke Kota Bandung diminta naik kereta api. Persoalannya adalah tidak semudah itu karena warga Jakarta yang akan berkunjung ke Bandung memilih memakai mobil pribadi karena di Kota Bandung akan berkunjung ke berbagai tempat untuk silaturrahmi, makan-makan dan belanja.

Angkutan umum di Kota Bandung sama sekali tidak mendukung mobilitas. Bahkan, taksi nakal-nakal karena tidak mau memakai argo. Baru setelah ada taksi Blue Bird taksi di Kota Bandung mau memakai argo, tapi tetap saja ada yang nakal. Angkot juga tidak mendukung mobilitas di dalam kota.

Dengan penduduk di lebih dari 2 juta jiwa, maka tidak ada pilihan bagi Pemkot Bandung selain membangun MRT sebagai angkutan perkotaan. Bukan untuk mengatasi atau mengurai kemacetan, tapi memberikan pilihan angkutan yang bebas macet, aman dan nyaman bagi penduduk kota dan wisatawan.

Maka, sebagai masyarakat yang berbudaya apalagi menghadapi globalisasi bukan larang-melarang kendaraan dari kota lain, tapi mencari solusi yang tepat untuk memberikan pilihan transportasi bagi warga kota. *** [Syaiful W. Harahap - baranews.co] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun