Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Laki-laki Suka Seks Laki-laki" Terbanyak Idap HIV/AIDS di Jakarta Timur

23 September 2014   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:50 3266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14114431841324755667

Penderita HIV/AIDS di Jakarta Timur hingga Agustus 2014 didominasi kaum lelaki penyuka sejenis alias homo yang mencapai 139 kasus. Selanjutnya diikuti ibu rumah tangga 100 kasus, perempuan pekerja seks 51 kasus, waria 15 kasus dan pria pekerja seks lima kasus.” Ini lead pada berita “Penderita HIV/AIDS di Jakarta Timur didominasi pria homoseksual” (merdeka.com, 12/9-2014).

Jika yang dimaksud “lelaki penyuka sejenis alias homo” adalah laki-laki gay, maka pertanyaannya kemudian adalah: Siapa yang menularkan HIV/AIDS ke 100 ibu rumah tangga?

Di bagian lain Kabid Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Jakarta Timur, Gagah Heru Setiawan, mengatakan: "Penularan HIV/AIDS melalui penyimpangan seks lelaki suka lelaki ini cukup dikhawatirkan karena mereka juga dapat menularkan kepada lawan jenis."

Ada lagi pernyataan: “ .... pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seks ini dapat dilakukan dengan pendidikan, penyuluhan yang intensif yang ditujukan pada perubahan cara hidup dan perilaku seksual, serta bahayanya AIDS dari usia remaja sampai usia tua.”

Soalnya, laki-laki gay tidak mempunyai istri. Maka, kalau Dinkes Jakarta Timur menyebut 139 kasus tsb. pada laki-laki gay, maka ada 100 laki-laki yang bukan laki-laki gay yang menularkan HIV/AIDS ke 100 ibu rumah tangga. Itu artinya jumlah kasus di Jakarta Timur harus ditambah 100 biar pun laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada 100 ibu rumah tangga itu tidak terdeteksi. Atau bisa jadi 100 ibu rumah tangga itu tertular HIV/AIDS tidak melalui hubungan seksual.

Ada kemungkinan 139 laki-laki tsb. adalah laki-laki gay dan lelaki suka seks lelaki (LSL) yaitu laki-laki heteroseks yang juga suka ngeseks dengan laki-laki melalui seks anal. Tapi, Dinkes Jakarta Timur tidak memberikan penjelasan tentang “lelaki penyuka sejenis alias homo”, apakah semua gay atau LSL.

Ada tiga perilaku LSL yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu (a) ngeseks tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi pelacuran) dan tidak langsung (anak sekolah, ABG, ayam kampus, pemijar, cewek pub, cewek disko, cewek karaoke, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.), (b) ngeseks tanpa kondom dengan waria, dan (c) ngeseks tanpa kondom dengan laki-laki.

Yang jadi persoalan besar adalah jika LSL itu juga ngeseks dengan waria. Soalnya, penelitian sebuah institusi gay di Surabaya menunjukkan laki-laki heteroseks, seperti LSL, justru menjadi ‘perempuan’ (istilah di kalangan waria ‘ditempong’) ketika ngeseks dengan waria. Itu artinya risiko LSL tertular HIV/AIDS dan IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus heptitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) sangat besar jika waria yang jadi ‘laki-laki’ (istilahnya ‘menempong’) tidak memakai kondom.

Dalam kaitan ini LSL menjadi ‘jembatan’ penyebaran HIV/AIDS dan IMS dari masyarakat ke waria dan sebaliknya dari waria ke masyarakat, al. ke ibu rumah tangga.

Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami karena suami-suami itu melakukan tiga perilaku berisiko tertular HIV di atas.

Jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami kian besar karena praktek pelacuran di Jakarta Timur khususnya dan di Indonesia umumnya tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang ngeseks dengan PSK.

Di Thailand insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang ngeseks dengan PSK turun besar karena ada program ‘wajib kondom 100 persen’ yang dijalankan pemerintah dengan skala nasional. Laki-laki yang ngeseks dengan PSK diwajibkan memakai kondom. Pemantuan bisa dilakukan dengan efektif karena pelacuran dilokalisir.

“Penyimpangan seks lelaki suka lelaki” adalah jargon moral yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena ‘penyimpangan seks lelaki suka lelaki’ (sifat hubungan seksual), tapi karena salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan yang menganal (memasukkan penis ke anus) tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).

Pernyataan Gagah itu merupakan mitos (anggapan yang salah) yang justru menghambat penanggulangan HIV/AIDS karena masyarakat tidak memahami cara-cara penularan HIV/AIDS yang konkret.

Disebukan pula “ .... kami terus berupaya menekan angka penderita dengan meningkatkan kesadaran warga untuk tidak melakukan seks bebas, ....”

Lagi-lagi pernyataan di atas merupakan mitos. Kalau ‘seks bebas’ diartikan zina, seperti melacur, seks anal, seks oral, dll., maka tidak ada kaitan langsung seks bebas dan penularan HIV/AIDS karena seks bebas adalah sifat hubungan seksual sedangkan risiko penularan HIV/AIDS terjadi karena kondisi hubungan seksual.

Mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual hanya bisa dilakukan dengan cara: (1) Tidak melakukan hubungan seksual dengan yang mengidap HIV/AIDS, dan (2) Menghindari pergesekan penis dan vagina ketika terjadi hubungan seksual.

Ada lagi pernyataan moralistis yang justru tidak terkait langsung dengan pencegahan HIV/AIDS, bahkan sebaliknya mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) kepada pengidap HIV/AIDS: “Selain itu, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan warga kepada tuhan sehingga mereka menjauhi perbuatan seks di luar nikah yang merupakan larangan agamanya.”

Pertama, apa alat ukur keimanan dan ketaqwaan.

Kedua, berapa takaran keimanan dan ketaqwaaan yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS.

Ketiga, siapa yang mempunyai otoritas mengukur keimanan dan ketaqwaan.

Pernyataan itu menyudutkan orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena dikesankan mereka tertular HIV/AIDS karena tidak mempunuai iman dan taqwa.

Selama  praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di Jakarta Timur dan tidak ada intervensi langsung, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Itu artinya penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di Jakarta Timur yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun