* Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2014
Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia dengan angka pertambahan kasus HIV baru yang tertinggi setelah Tiongkok dan India. Sampai 30 September 2014 sudah dilaporkan 206.084 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi di seluruh wilayah Nusantara mulai dari Aceh sampai Papua. Di 21 provinsi kasus HIV antara 1.000 – 32.000, sedangkan kasus AIDS di 11 provinsi antara 1.000 – 10.000.
Mitos AIDS
Secara global laporan UNAIDS menyebutkan pada tahun 2012 diperkirakan ada 34 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS, sedangkan infeksi HIV baru pada bayi berjumlah 280.000, infeksi baru 2,3 juta, kematian terkait AIDS 1,6 juta, pengidap HIV/AIDS yang menerima pengobatan 9,7 juta.
Kasus-kasus HIV yang terdeteksi akan masuk ke masa AIDS antara 5-15 tahun kemudian sehingga di bebarapa daerah dengan jumlah kasus HIV yang mencapai ribuan kelak akan terjadi “ledakan AIDS”.
Akhir tahun 1990-an kalangan ahli memperkirakan epidemi HIV/AIDS akan menggerogoti dana pembangunan di kawasan Asia Pasifik karena 60 persen penduduk dunia bermukim di kawasan ini. Celakanya, penemuan kasus baru di kawasan Asia Pasifik justru terus meroket. Sedangkan di kawasan Afrika, Eropa Barat, Amerika Serikat dan Australia penemuan kasus baru justru mulai mendatar karena negara-negara di kawasan ini sudah menjalankan program penanggulangan yang konkret.
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia sudah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dll.), dan PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub, cewek disko, ‘ayam kampus’, ABG, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.).
Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi karena sejak awal epidemi sampai sekarang tidak ada program penanggulangan yang komprehensif. Penanggulangan hanya dengan orasi moral yang mengedepankan mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS): bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berbudaya, beradab, dan beragama sehingga tidak mungkin tertular HIV/AIDS.
Kesalahan besar pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menjadikan kasus kematian seorang laki-laki wisatawan Belanda yang terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) sebagai kasus pertama AIDS di Indonesia. Wisatawan itu disebut-sebut seorang gay (orientsai seksual yang tertarik kepada laki-laki). Kasus ini mengentalkan mitos: AIDS penyakit gay, AIDS dibawa dari luar negeri, AIDS penyakit orang bule, dll.
Akibatnya, banyak orang yang merasa perilakunya tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak termasuk dalam kategori di atas.
Pelanggan PSK
Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan pada tahun 2012 di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki yang menjadi pelanggan PSK. Dari jumlah ini 2,2 juta di antaranya adalah laki-laki yang mempunyai istri (kompas.com, 3/12-2012). Celakanya, laki-laki itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Maka, ada 2,2 istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya. Laporan menyebutkan 6.230 ibu rumah tangga terdeteksi mengidap HIV/AIDS, selanjutnya HIV/AIDS juga terdeteksi pada 1.009 anak usia 0-4 tahun. Bayi dan anak-anak ini lahir dari ibu yang mengidap HIV/AIDS.
Langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pelanggan PSK adalah melalui intervensi dengan regulasi barupa ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Cara ini sudah terbukti menurunkan kasus HIV/AIDS baru di Thailand dengan indikator jumlah kasus HIV/AIDS yang terus turun pada calon tentara dan polisi.
Program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir melalui regulasi. Itu artinya program ini tidak bisa dijalankan secara efektif di Indonesia.
Maka, yang bisa dilakukan pemerintah untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat adalah dengan membuat UU:
(a) mewajibkan perempuan hamil dan suami atau pasangannya menjalani konseling dan tes HIV, dan
(b) mewajibkan semua pasien yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti puskesmas dan rumah sakit, menjalani konseling dan tes HIV.
Dua cara itu tidak melanggar HAM karena ada pilihan bagi yang tidak bersedia menjalani konseling dan tes HIV yaitu berobat ke sarana kesehatan nonpemerintah.
Deteksi dini pengidap HIV/AIDS juga terkait dengan pengobatan untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu dengan obat antiretroviral (ARV). Rekomendasi WHO menyebutkan jika CD4 (mencerminkan keadaan sistem kekebalan tubuh) pengidap HIV/AIDS di bawah 350 harus minum obat ARV. Sejauh ini obat ARV gratis, tapi tahun depan akan didanai dari APBN karena sebagai negara menengah Indonesia tidak boleh lagi menerima hibah dari luar negeri. Paket obat ARV lini satu Rp 360.000/bulan sepanjang hayat.
Tanpa langkah-langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Indonesia yang kelak akan sampai pada “ledakan AIDS” sehingga menggerogoti APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) al. untuk pembelian obat ARV, pengobatan dan perawatan pengidap HIV/AIDS. *** [Syaiful W. Harahap– AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H