“Partisipasi yang telah dijalankan oleh Frisian Flag Indonesia bekerja sama dengan KPA Kota Bandung sejak 2009 adalah berupaya menurunkan tingkat risiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak, yaitu dengan terlibat secara langsung dalam penyediaan akses pelayanan pencegahan HIV dan AIDS atau yang lebih dikenal denganPrevention Mother to Child Transmission (PMTCT).” Ini ada dalam berita “Seriusnya Pemkot Bandung Tangani HIV dan AIDS” di liputan6.com (13/1-2015).
Mencegah penularan HIV/AIDS dari-ibu-ke-anak adalah program di hilir. Artinya, Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat membiarkan ibu-ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS dari suami mereka. Selanjutnya setelah ibu-ibu yang tertular HIV/AIDS itu hamil barulah progam PMTCT dijalankan.
PSK Langsung
Janin yang mereka kandung terhindar dari HIV/AIDS, tapi ibu mereka justru sebagai pengidap HIV/AIDS.
Langkah Pemkot Bandung tsb. merupakan program yang tidak objektif karena hanya memikirkan upaya pencegahan tehadap anak-anak yang akan dilahirkan, sementar ibu-ibu rumah tangga dibiarkan ditulari suami mereka dengan HIV/AIDS.
Sampai 1 Desember 2014 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Bandung mencapai 3.267 yang terdiri atas 1.626 HIV dan 1.641 AIDS (jabar.tribunnews.com, 1/12-2014). Ini merupakan bagian dari jumlah kasus kumulatif di Jawa Barat sampai 30 September 2014 sebanyak 17.698 yang terdiri atas 13.507 HIV dan 4.191 AIDS (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 17 Oktober 2014). Jumlah ini menempatkan Jawa Barat pada peringkat ke-empat secara nasional.
Yang menjadi persoalan besar adalah Pemkot Bandung tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Risiko laki-laki dewasa tertular HIV/AIDS al. melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom, yaitu:
(1) Yang dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung,
(2) Yang dilakukan dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata di tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran dan yang ada di jalanan, di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung,
(3) Yang dilakukan dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat, cewek spa, cewek gratifikasi seks, dll. di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung,
(4) Yang dilakukan dengan waria. Dalam prakteknya laki-laki beristri umumnya jadi “perempuan” (yang ditempong atau yang dianal) ketika melakukan seks anal dengan waria. Waria menjadi “laki-laki” (yang menempong atau yang menganal). Kondisi ini meningkatkan risiko tertular HIV/AIDS bagi laki-laki beristri yang ditempong oleh waria di Kota Bandung atau di luar Kota Bandung.
Untuk nomor (1), (3) dan (4) tidak bisa dilakukan intervensi karena hubungan seksual yang mereka lakukan terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Yang bisa diintervensi hanya nomor (2), tapi dengan syarat pelacuran dilokalisir yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Celakanya, Pemkot Bandung justru menutup lokalisasi pelacuran “Saritem”.
Dalam pandangan pemerintah, dalam hal ini Pemkot Bandung, dengan menutup “Saritem” pelacuran pun tidak ada lagi. Tentu saja ini hanya utopia atau mimpi di siang bolong karena praktek pelacuran akan terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Suami Tidak Tes HIV
Pemkot Bandung, pemuka agama dan pemuka masyarakat di Kota Bandung boleh-boleh saja menepuk dada: Di Kota Bandung tidak ada pelacuran!
Itu benar adanya, tapi yang dimaksud adalah tidak ada lokalisasi pelacuran yang diregulasi. Sedangkan praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di berbagai tempat mulai dari penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang serta apartemen mewah sepanjang hari dan malam hari.
Jika Pemkot Bandung tidak melakukan intervensi terhadap laki-laki yang ngeseks dengan PSK yaitu program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK, maka insiden infeksi HIV/AIDS pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.
Akibatnya, ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suami pun akan terus bertambah yang pada gilirannya akan bermuara pada jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.
Kalau Pemkot Bandung tidak menjalankan program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil, maka kelak akan banyak anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak semua ibu hamil terjaring. Yang terjaring juta sangat kecil jumlahnya yaitu yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah, seperti Posyandu, Puskesmas dan rumah sakit umum.
Selain itu banyak pula ibu-ibu hamil yang tedeteksi di ujung kehamilan sehingga program pencegahan dari-ibu-ke-bayi tidak efektif lagi.
Disebutkan dalam berita bahwa “Tidak banyak yang tahu kalau kota Bandung masuk kategori pemerintah yang memberikan anggaran cukup besar untuk penanggulangan masalah HIV AIDS, .... “
Yang diperlukan bukan biaya yang besar, tapi program yang konkret dan sistematis serta terukur hasilnya.
Jika Pemkot Bandung bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama bisa menjamin tidak akan ada lagi laki-laki dewasa penduduk Kota Bandung yang melakukan perilaku nomor (1), (2), (3) dan (4) di atas, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Bandung bisa dikendalikan.
Tapi, ada persoalan lain lagi yaitu orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS, tapi tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Persoalan lain yang dihadapi Pemkot Bandung adalah suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak menjalani tes HIV karena mereka menolak untuk dites. Akibatnya, suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu pun jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pada saatnya akumulasi dari penyebaran HIV/AIDS akan membuat Pemkot Bandang “panen AIDS”. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H