Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Norma-norma Agama, Pergaulan Bebas, Seks Bebas dan AIDS

20 Januari 2015   00:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:47 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pergaulan remaja yang melewati norma-norma agama, dan pergaulan yang bebas hingga berujung dengan seks bebas jelas sangat mengkhawatirkan. Apalagi HIV/AIDSmengancam pelaku seks bebas itu.” Ini pernyataan pada lead berita “Duh, Pelajar di Sintang Dominasi Pengidap HIV/AIDS” di tribunnews.com (18/1-2015).

Pernyataan ini tidak bertumpu pada fakta sebagai realitas sosial di social settings karena mengabaikan kebenaran.

Pertama, pergaulan yang melewati norma-norma agama tidak hanya pada remaja karena orang-orang tua pun, bahkan tokoh agama dan pejabat, ada yang melakukan perilaku yang melewati norma-norma agama.

Kedua, tidak ada kaitan langsung antara pergaulan bebas sampai seks bebas dengan penularan HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seksual).

Lead berita itu ditulis dengan memakai moralitas diri pribadi wartawan atau redaktur yang menulis lead tsb. Padahal, berita dalam kaidah jurnalistik harus bertumpu pada fakta bukan sebagai opini dengan balutan moral.

Pemahaman terhadap HIV/AIDS pada diri wartawan yang menulis berita ini sangat rendah sehingga memprihatinkan sebagai pemberi informasi karena berita yang ditulis tidak akan bisa berperan sebagai agen perubahan (agent of change) perilaku. Soalnya, dalam HIV/AIDS yang perlu “diperbaiki” adalah perilaku karena perilakulah yang menentukan seseorang berisiko atau tidak berisiko tertular HIV/AIDS.

Lihat saja pernyataan ini: “Dari Data Pelaksana Program PenanggulanganHIV/AIDSRSUD Ade Muhammad Djoen Sintang, Kalbar, angkaHIV/AIDSdari tahun ke tahun mengalami peningkatan.”

Cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan akan terus ‘mengalami peningkatan’. Angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang atau turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS mati.

Disebutan bahwa kasus HIV/AIDS  banyak terdeteksi di kalangan pelajar SMA yaitu 104 yang terdeteksi dari tahun 2006 sampai 2014.

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko (cara penularan HIV/AIDS) pada kalangan pelajar SMA tsb.

Ada kemungkinan pelajar SMA yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS adalah di kalangan penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya). Maka, amatlh wajar banyak terdeteksi kasus HIV/AIDS karena penyalahguna narkoba wajib tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi.

Disebutkan pula bahwa "Polisi sudah melakukan tindakan preventif, melakukan pembinaan bersama orangtua yang berpengaruh terhadap perkembangan remaja tersebut, seperti guru, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, " terang AKBP Veris Septiansyah.

Ketika remaja melanggar norma agama dianggap salah dan dilakukalah pembinaan seperti yang disebutkan Veris itu. Padahal, fakta menunjukkan banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga. Ini membuktikan kalangan dewasa, dalam hal ini suami, justru melakukan perbuatan yang melanggar norma agama, al. melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) sehingga mereka berisiko tertular HIV/AIDS.

Lalu, mengapa tidak ada pembinaan terhadap orang-orang tua?

Jika remaja tertular HIV/AIDS hal itu sudah bagaikan terminal terakhir karena remaja-remaja itu tidak mempunyai istri sehingga mereka tidak menularkan HIV ke orang lain. Berbeda dengan orang-orang tua yang beristri. Kalau mereka tertular maka ada pula resiko penularan kepada istri yang selanjutnya istri bisa menularkan HIV ke janin yang dikandungnya.

Selama pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terjadi karena tidak ada program intervensi melalui regulasi ke pelacuran yaitu kewajiban memakai kondom bagi laki-laki yang melacur dengan PSK.

Maka, selama tidak ada program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Sintang yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. Harahap AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun