Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Tanpa (Ada) Hari Valentine pun Perzinaan dalam Berbagai Bentuk Terus Terjadi

14 Februari 2015   00:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:14 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agaknya, terjadi salah kaprah terhadap maknaValentine's Day, dirayakan tanggal 14 Februari, oleh sebagian orang karena memakai ukuran moralitasnya dengan memakai asumsi dalam memaknai ‘Hari Valentine’ tsb. sehingga subjektif.

Dengan menyebutkan “Hari Kasih Sayang” sebagai terjemahan bebasValentine’s Daydimaknai secara sempit sebagai kegiatan yang mengarah ke masalah seksual. Ini yang merusak makna “Hari Kasih Sayang”.

Kasih sayang tidak harus diwujudkan dalam bentuk hubungan seksual karena banyak kegiatan yang berkhir dengan hubungan seksual tanpa ‘kasih sayang’. Lihat saja di pusat-pusat hiburan malam, panti pijat plus-plus, lokasi atau lokalisasi pelacuran, dll. hubungan seksual yang berisiko terjai penularan HIV/AIDS terus terjadi sepanjang hari sepanjang tahun.

Secara Verbal

Bahkan, perselingkuhan yang dibalut dengan cinta sama sekali bukan wujud atau bentuk ‘kasih sayang’ karena mereka telah merusak tatanan norma, moral, dan hukum serta keutuhan keluarga. Juga meruntuhkan kesetiaan yang menjadi landasan sebuah pernikahan yang sakral.

Rasanyagak pentingmenelusuri asal-muasal ‘Hari Kasih Sayang’ karena kalau dimaknai dengan pijakan moralitas dengan balutan kasih sayang tentulah hari itu diperingati dengan satu makna yaitu saling menunjukkan rasa cinta dengan kasih sayang.

Nah, yang salah kaprah adalah separuh orang yang memanfaatkan ‘Hari Kasih Sayang’ sebagai jalan untuk melampiaskan hasrat dorongan libido seksualnya. Ini mereka lakukan dengan menyalahgunakan makna ‘Hari Kasih Sayang’. Ini yang salah kaprah karena dengan gaung kasih sayang mereka menjadikan situasi tsb. untuk melampiaskan hasrat busuk mereka.

‘Hari kasih sayang’ yang pada awalnya dikenal pada abad ke-18 merupakan saat yang tepat untuk saling mengucapkan rasa cinta secara verbal, selanjutnya terus berkembang dengan bertukar cendera mata yang juga mengukuhkan pernyataan cinta, seperti memberikan bunga, coklat, dan mengirimkan kartu bergambar hati.

Dikabarkan sejak awal abad ke-19 pernyataan cinta tidak lagi sebatas ucapan atau verbal, tapi sudah mulai dalam bentuk tulisan, seperti surat atau puisi. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS), misalnya, memperkirakan setiap ‘Hari Kasih Sayang’ peredaran kartu ucapan kasih sayang di duia mencapai satu miliar (id.wikipedia.org). Jumlah ini menjadi urutan kedua jumlah pengiriman kartu ucapan setelah ucapan Natal.

Tidak ada bangsa dan penganut religi di muka bumi ini yang mengakui hubungan seksual di luar ikatan secara eksplisit. Kalau pun ada penganutfree love(dalam kamus Bahasa Inggris tidak ada lamanfree sex) yaitu hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan itu bukan kebijakan satu bangsa, negara, atau religi. Itu adalah perilaku orang per orang atau kelompok di sebuah komunitas.

Pemerintah di negara tsb. tidak bisa melakukan intervensi karena hal itu menyangkut hak asasi di ranah privat. Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak boleh masuk ke ranah privat selama tidak menyangkut kepentingan umum. Itu pula lah sebabnya ada negera yang “menyediakan” lokalisasi pelacuran atau rumah bordir untuk memenuhi hak seksual masyarakat.

Di Indonesia sendiri sudah lama dikenal ‘kumpul kebo’, kawin-kontrak, nikah mut’ah, dll. yang pada prakteknya hubungan seksual yang bukan dalam konteks kegiatan reproduksi untuk mendapatkan keturunan yang sah. Di kawasan Puncak, Jawa Barat, misalnya terjadi kawin-mawin antara perempuan Indonesia dengan laki-laki dari kawasan Asia Depan dalam berbagai bentuk yang mengabaikan makna sakral pernikahan.

Kegiatan itu terjadi tanpa perayaan Hari Valentine karena terjadi sepanjang tahun.

Begitu juga dengan praktek pelacuran yang terjadi sepanjang tahun.

Memang, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Tidak ada pelacuran!

Itu benar adanya.

Tapi, tunggu dulu. Apa,sih, yang tidak ada?

Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir dengan regulasi seperti di zaman Orde Baru (Orba). Dulu pelacuran dilokalisir dengan dalih resosialisasi dan rehabilitasi dengan memberikan keterampilan kepada pekerja seks komesial (PSK). Mereka tetap menjalakan pekerjaannya sebagai PSK selama rehabilitasi.

Ledakan AIDS

Yang tidak ada di semua daerah di Indonesia adalah pelacuran dengan PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran zaman Orba. Tapi praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek disko, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, cewek gratifikasi seks, dll. terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Buktinya, banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Studi juga menujukkan ada 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK langsung di Indonesia (Kemenkes RI, 2012). Artinya, jutaan bahkan puluhan juta laki-laki lain adalah pelanggan PSK tidak langsung. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakta, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dari jumlah itu 2,2 juta adalah suami (kompas.com, 3/12-2012). Itu artinya ada 2,2 juta istri yang berisko tertular HIV/AIDS dari suami. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suaminya. Penularan HIV/AIDS ini berakhir pada anak-anak yang mereka lahirkan.

Persoalan besar pun muncul. Ada anak yang lahir dengan HIV/AIDS tanpa ayah yang mati karena penyakit terkait AIDS, ada yang tidak punya ibu yang juga mati karena penyakit terkait AIDS. Bahkan banyak pula anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS beranjak besar tanpa ayah dan ibu.

Banyak pula keluarga yang menolak anak-anak tsb. sehigga harus dititipkan di berbagai institusi HIV/AIDS. Pemerintah sendiri tidak bisa turun tangan karena anak-anak dengan HIV/AIDS itu bukan penyandang masalah sosial dan tidak pula sakit.

Itulah masalah besar yang dihadapi oleh Malaysia, seperti pernah disampiakan oleh Datin Marina Mahathir, waktu itu dia direktur sebuah organisasi peduli AIDS. “Tidak jelas siapa yang harus merawat anak-anak tsb. (maksudnya anak-anak yatim piatu dengan AIDS dan ditelantarkan keluarga-pen.),” kata Marina kepada penulis di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) 1999 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Kondisi yang dialami Malaysia sudah terjadi di Indonesia, tapi karena banyak institusi, seperti LSM atau sanggar, yang ‘menampung’ anak-anak tsb. sehingga masalah tidak mecuat ke permukaan. Di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) di Jakarta Selatan, misalnya, ada 140 anak-anak mulai dari bayi sampai umur SMP dengan HIV/AIDS. Di LSM dan sanggar lain pun jumlahnya hampir sama.

Nah, apakah kita terhanyut dengan isu ‘Hari Valentine’ yang melibatkan remaja yang diasumsikan dengan hubungan seksual oleh separuh orang daripada mengatasi penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh kalangan dewasa, terutama laki-laki, melalui prekatek pelacuran yang terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di negeri ini?

Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 17 Oktober 2014, menyebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia mulai tahun 1987 sampai 30 September 2014 adalah 206.084 yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9,796 kematian.

Kalau penanggulangan HIV/AIDS di hulu yaitu pada pratek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung tidak ditangani dengan intervensi yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermara pada ‘ledakan AIDS’. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun