Menjelang helatan kepentingan politisi yang mereka sebut dengan "pesta demokrasi" di tahun 2018- 2019 nanti, yang terdiri dari helatan 171 Daerah Pilkada dan Pilpres. Suksesi dengan sistem Demokrasi langsung semenjak reformasi ini nyatanya masih banyak melahirkan koruptor. Katanya salah satu biangnya adalah mahalnya biaya kontestasi tersebut. The last Buy not least adalah kejadian tertangkap dengan memalukan secara OTT oleh KPK calon pasangan yang terdiri atas anak dan ayah di Kendari kemudian korupsi massal yang  dilakukan oleh DPRD Malang.
Dengan kualitas SDM yang rendah dan kondisi alam begitu luas, Indonesia sesungguhnya belum bisa melaksanakan demokrasi langsung. Pemaksaan pelaksanaan demokrasi langsung hanya melahirkan pemimpin dengan kualitas rendah juga. Pemimpin yang tidak bisa memajukan masyarakatnya atau pemimpin yang akan menjadi pesakitan KPK.
Kesalahan tersebut bukanlah kesalahan tunggal dari mereka yang terciduk oleh KPK saja. Ada peran masyarakat di sana, seperti masyarakat yang masih permisif terhadap korupsi. Kesalahan di sistem seperti gagalnya partai melakukan kaderisasi dan lemahnya integritas penyelenggara pemilu, seperti penyelenggara yang mudah disuap.
Kondisi ini melahirkan kembali wacana untuk mengembalikan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah, seperti yang disampaikan oleh ketua DPR, Bambang Soesatyo. Kita disuruh kembali memutar jarum jam menuju abad XX, kembali ke jaman kegelapan. Inilah kualitas pemimpin kita saat ini, mereka tidak punya pemikiran yang visioner untuk menyelesaikan permasalahan negeri ini. Malang nian bangsa ini.
Ini adalah tulisan seorang golputer yang mencoba memberikan solusi dari permasalahan sistem demokrasi yang gagal mewujudkan pemimpin negeri yang berkualitas.
Sebelumnya perlu bawa sampaikan mengapa saya menjadi golputer? Pertama, karena saya terlalu cerdas untuk mudah dibohongi oleh para politikus, tidak percaya bahwa politikus berjuang untuk kepentingan rakyat. Kedua, saya tidak mau terkotak-kotak karena kepartaian, kepentingan kepartaian merupakan kepentingan yang sempit dan picik, oleh sebab itu PNS/ASN tidak boleh menjadi bagian dari partai .Â
Ketiga, tidak ada mekanisme kontrol konstituen terhadap mereka yang telah dipilih, sehingga jika pemimpin atau anggota legislatif yang terpilih tadi tidak memenuhi janjinya tidak ada prosedur pencabutan mandat tanpa harus menunggu lima tahun. Keempat, golput tetap bisa bersuara melalui media, suara golput tidak dibungkam dalam kotak suara. Kelima, memberikan sumbangsih pembangunan untuk negeri bukan dengan ikut pemilihan semata tapi dengan pemikiran dan tindakan yang nyata, tindakan nyata dalam pembangunan adalah dengan membayar pajak dan tidak melakukan korupsi, ikut pemilu sama sekali tidak ada korelasi dengan sumbangsih pembangunan.
Baik, kembali ke topik "Merancang Demokrasi Digital". Alasan saya mengangkat topik ini karena ini adalah permasalahan yang di hadapi bangsa ini dan saya mencoba untuk memberikan alternatif solusi. Sebelum itu izinkan saya menyeruput kopi yang baru saya seduh.. srupp...
Hal pertama agar bisa melaksanakan demokrasi digital adalah melakukan rekayasa sosial menjadi masyarakat digital, rekayasa berbentuk pembuatan identitas digital bagi setiap penduduk, identitas tersebut bisa berupa nomor handphone atau alamat email. Jadi setiap masyarakat harus mempunyai satu nomor handphone atau alamat email. Jika ada masyarakat yang belum punya maka ia harus melapor ke RT setempat untuk diberikan nomor HP atau alamat email. Nomor HP atau alamat email bisa menjadi identitas digital karena bersifat unik.
Jika setiap penduduk sudah memiliki identitas digital berupa nomor HP atau alamat email, pemerintah bisa membuat suatu sistem aplikasi pemilihan yang handal dan akuntabel. Bentuk sederhananya bisa berbentuk polling. Hal ini sangat mungkin dilaksanakan pada event-event seperti ajang pencarian bakat atau bisa juga membuat aplikasi yang bisa diinstal di masing-masing smartphone. Ini artinya orang-orang bisa menyoblos tanpa harus ke bilik suara, orang-orang bisa menggunakan hak suaranya dengan menggunakan smartphone  di genggamannya.
Para kandidat yang berkompeteisi tidak perlu turun ke penduduk untuk menyerap aspirasi warga, karena itu nanti akan menjadi tugas bagi RT/RW. Aspirasi warga cukup disampaikan ke RT, kemudian RT merekap aspirasi tersebut dan menyerahkannya ke RW, RW ke tingkat lurah/desa, kemudian aspirasi bisa disampaikan langsung ke kandidat dan para kandidat menjawab aspirasi tersebut. Sehingga biaya kampanye akan jauh lebih murah dan tidak perlu pengerahan massa. Dengan begitu kandidat yang mengikuti kontestasi dapat dengan mudah mengenalkan dirinya dan menyosialisasikan programnya dengan bantuan perangkat pemerintahan dari kepala RT, RW, lurah/desa. Perangkat pemerintahan terendah tadi akan mengirimkan pesan ke nomor HP atau alamat email warganya tentang sosok kandidat berserta programnya dan memastikan bahwa setiap warganya telah mendapatkan informasi tersebut.