Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang sibuk memikirkan masa lalu (sejarah) tapi bangsa yang sibuk  memikirkan dan menyiapkan masa depannya.  (Salman, 2017)
Indonesia dalam 10 -- 30 tahun ke depan akan memasuki masa emas, hal ini jika dilihat dari sumber daya manusianya, bahasa populernya akan memasuki masa bonus demografi, di mana kondisi usia produktif akan mencapai persentase tertinggi dalam suatu siklus negara atau bahasa awamnya jumlah persentase orang yang menghasilkan uang dalam persentase tertinggi, mencapai 70% lebih, jumlah anak-anak sedikti, jumlah orang pensiunan juga sedikit. Tapi bonus demografi ini membutuhkan syarat.
Syarat agar Indonesia memiliki bonus demografi adalah SDM berkualitas, SDM berkualitas bisa dilihat dari pendidikan angkatan kerjanya, jika syarat ini tidak dipenuhi maka yang akan terjadi bencana demografi. Apa itu bencana demografi? Bencana demografi itu dimana kondisi suatu negara mengalami chaosakibat permasalahan-permasalahan penduduk, angka kriminalitas tinggi, di mana-mana terjadi keributan karena permasalahan ekonomi dan keadilan.
Sekarang pertanyaannya adalah di mana posisi arah Indonesia saat ini? Menuju  bonus atau bencana demografi? Mudahnya untuk melihat hal ini tinggal kita lihat angkatan kerja Indonesia saat ini bagai mana? Yuk mari kita lihat data BPS. Mengapa kita lihat data BPS? Karena BPS melakukan pendataan terhadap kondisi kependudukan? Mengapa BPS melakukan pendataan? Eh kebanyakan tanya, langsung saja lihat data BPSnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2017) jumlah 131 juta angkatan kerja terdiri dari pendidikan SD dan SMP mencapai 59,6%, 16,78% pendidikan SMA, 11,34% pendidikan SMK, 3% pendidikan diploma, serta 9% memiliki pendidikan D4, S1, S2, S3. ( Sumber : https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3620255/60-angkatan-kerja-ri-lulusan-sd-dan-smp-ini-langkah-kemenaker )
Tenaga kerja Indonesia yang lulusan SMA kebawah ada sekitar 59,6% + 16,78% atau sama dengan 76,38%. Pertanyaannya sekarang, adalah apakah ini angkatan kerja yang berkualitas? Tidak perlu dijawab, saya sudah tahu jawaban Anda, jawaban Anda pasti tidak, seandainya  Anda tadi menjawab iya, anda berkesempatan mendapat hadiah sepeda dari pak prisden kita. Maaf saya tadi hanya bercanda, mari kita serius kembali.
Bapak -- ibu, kakak- adek, sauadara- saudari semua, saya harap sedikit uraian di atas dapat membuka mata kita tentang kondisi Indonesia saat ini. Saya menyebutnya kondisinya memprihatinkan dan butuh perhatian. Dan tulisan ini bermaksud agar kita sedikit peduli dan menyumbangkan pemikiran untuk mengatasi masalah ini.
Saya coba melihat masalah ini dari rendahnya Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi. Angka Partisipasi Kasar peguruan tinggi tahun 2017 adalah 31.1%. Masalah klasik kenapa orang-orang tidak kuliah itu karena biaya kuliah mahal dan terbatasnya kemampuan perguruan tinggi menampung mahasiswa. Ini masalah yang sama ketika abad 20 lalu, di abad-21 sekarang masalahnya masih sama. Ini karena pemikiran kita terjebak dengan cara berpikir abad 20.
Ok, apa sih beda pemikiran abad 20 dengan pemikiran abad 21? Abad 20 menggunakan pemikiran teknologi konvensional, abad 21 menggunakan pemikiran teknologi digital. Nah jika sudut pandang atau pradigma kita sudah digital paradigm masalah ruang dan biaya akan lenyap.
Seharusnya perguruan tinggi sekarang menerapkan sistem online learning atau pembelajaran jarak jauh atau setidaknya sistem pembelajaran campuran (mixed learning). Untuk sistem pembelajaran campuran ini, sistem absensi yang mengharuskan peserta hadir 80% dari absensi diubah menjadi menjadi 20% saja, sehingga mahasiswa tidak perlu setiap hari pergi ke kampus, cukup hari saja dalam seminggu mengikuti ke kampus, selebihnya mahasiswa belajar mandiri namun dapat tetap terhubung dengan dosennya di mana pun dan kapan pun, begitu juga dengan dosennya. Dengan begini ruang kelas akan bisa dimaksimalkan untuk kegiatan lain, sistem ini memungkinkan yang sebelumnya ruang kelas digunakan hanya untuk satu jurusan  bisa digunakan hingga lima jurusan. Dan akhirnya jumlah mahasiswa yang bisa ditampung akan meningkat jauh.
Apa yang saya sampaikan di atas bukanlah omong kosong, kita bisa melihat sekarang pada Universitas Terbuka (UT) yang memiliki jumlah Mahasiswa terbanyak di Indonesia, pertahunnya UT bisa menerima hingga 100.000 Mahasiswa. Sebuah jumlah yang fantastis. Anda bayangkan jika hal ini bisa diadopsi oleh seluruh perguruan tinggi di Indonesia, maka kita bisa mengkuliahkan seluruh anak negeri ini.
Untuk itu Kemenristekdikti perlu memikirkan dan memfasilitasi perkembangan ini dengan peraturan yang mendukung  ke arah sistem pendidikan jarak jauh atau pembelajaran campuran. Melihat kondisi bangsa saat ini, hal ini sudah mendesak dan membutuhkan implementasi yang nyata. Kita harus melihat terus melihat ke dapan karena bangsa yang besar bukan bangsa yang sibuk memikirkan masa lalunya tapi bangsa yang sibuk memikirkan dan menyiapkan masa depannya.
Salam dari lantai 18.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H