Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Negara Indonesia yang baik hati

Presiden Golput Indonesia, pendudukan Indonesia yang terus menjaga kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keyakinan dan Kebenaran

16 Januari 2017   20:28 Diperbarui: 16 Januari 2017   20:36 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Di dunia ini  yang abadi adalah pertikaian, perdamaian itu sementara saja"

Melihat isu dan kondisi umat islam dalam satu dekade terakhir ini mengingatkan saya pada Perang Salib. Pada saat itu orang-orang Kristen yang bergabung dan memperjuangkan Agama Kristen dijanjim dijamin masuk surga. Perang yang berlangsung pada abad pertengahan ini banyak digerakkan dari pemuka-pemuka gereja.

Kita suci agama sebagai pegangan keyakinan akan kebenaran dipahami sebagai konstitusi final yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya. Perintah pemuka agama merupakan perintah suci.  Pernyataan yang tidak sejalan dengan kitab suci dianggap sebagai sebuah penistaan sehingga orang yang melenceng dari kitab suci akan mendapatkan hukuman yang berat, hal inilah yang terjadi pada Galileo Galilei yang mengatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya yang bertentangan dengan konsep Injil.

Eropa pada abad pertengahan dikuasai oleh pemuka-pemuka gereja, beberapa kalangan menganggap ini adalah masa kegelapan Benua Eropa dan masa ini berakhir ketika revolusi industri yang ditandai berkembangnya ilmu pengetahuan.

Dewasa ini saya melihat orang-orang Islam (Muslim) begitu mudah digerakkan dan dibakar amarahnya oleh hal-hal yang sepenuhnya tidak mereka pahami, penggeraknya tentu dari pemuka-pemuka agama juga. Di luar negeri, ISIS, sebuah pergerakkan atas nama Islam, mati saat berperang memperjuangkan ISIS didoktrin merupakan mati Sahid atas  jihad yang dijamin masuk surga.

Kondisi ini mengingatkan saya pada kutipan Albert Einstein, " Ada dua hal yang tidak terbatas, pertama alam semesta dan yang kedua kebodohan manusia, tapi saya tidak yakin yang pertama". Di sosial media  yang menyedihkannya, kebodohan itu ditunjukan oleh orang-orang yang  berpendidikan sarjana bahkan master, saya sering berdebat di sosial media, sering saya dapati cara berpikir yang sangat dangkal, saya coba telusuri cara berpikir mereka dan terlalu sering mereka tidak bisa menjelaskan dari argumentasi yang mereka buat sendiri. Kebanyakan mereka menggunakan argumentasi copy paste yang bukan hasil pemikirannya sendiri. Ini sangat naif.

Kasus Ahok

Nah ini bagian menarik yang sedang hot untuk dibahas. Dari semua kasus yang dituduhkan ke Ahok kasus penistaan agama adalah kasus yang sukses mengantarkan Ahok menjadi tersangka. Dua demo berskala besar yang dikenal dengan 411 dan 212 yang diklaim sebagai gerakan aksi damai dan super damai menuntut keadilan penegakkan hukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok agar Ahok dipenjara. Saya tidak melihat gerakkan ini sebagai gerakkan menjunjung hukum tapi adalah sebuah gerakkan intervensi hukum dengan menggunakan massa. Menegakkan keadilan tapi dituntut dihukum, keadilan apa yang sedang diperjuangkan? Entahlah.

Mari kita lihat faktanya, apakah mereka paham dengan kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok? Survey SMRC ini bisa menjawabnya, Mari kita lihat bagaimana massa berpikir dan bertindak. Dalam survey SMRC yang melibatkan 1.012 responden ini didapatkan bahwa 45,2% setuju bahwa Ahok telah menistakan agama namun 87,15 responden belum menonton persis video Ahok di Kepulauan Seribu tersebut.

Survey SMRC menunjukkan apa? Banyak orang yang tidak paham permasalahan sebenarnya, bagi saya yang sudah menonton Video Ahok itu untuk menyinggung orang-orang yang menjual agama, sebut saja seperti Sanusi yang sebelumnya digadang-gadang akan maju menjadi penantang Ahok namun ternyata tersangkut korupsi, hal seperti ini sangat banyak terjadi di tengah masyarakat.

Permasalahan orang Indonesia atau umat yang beragama secara fanatik sempit adalah tidak bisa membedakan antara keyakinan dan kebenaran. Kebenaran membutuhkan pengetahuan dan dapat diuji, seharusnya keyakinan pun harus didasarkan oleh pengetahuan, keyakinan tanpa pengetahuan akan menghantarkan pada kebutaan, agama tanpa ilmu buta.

Sebenarnya konflik yang diakibatkan oleh ketidaktahuan adalah konflik orang bodoh yang tidak mengerti hakekat agama.Agama mengajarkan peradaban, secara etimologis agama berasal dari kata 'a' dan 'gama', 'a' artinya tidak dan 'gama' artinya kacau, jadi orang beragama seharusnya memiliki peradaban dalam menghadapi permasalahan.  

Peradaban dalam bernegera adalah ditandai dengan adanya aturan dan undang-undang, bagi pelanggarnya akan dikenai sanksi. Pelaksanaannya memang perlu diawasi tapi tidak dengan melakukan intervensi yang melibatkan massa, ini sama saja tidak menghormati konstitusi hukum dan ini merupakan tindakan yang tidak beradab.

Aksi 212 dan aksi 412 kemarin menunjukkan apa yang saya yakini bahwa di dunia ini yang abadi adalah pertikaian, perdamaian itu sementara saja. Mereka saling unjuk tampil bahwa mereka paling baik dengan cara merendahkan kelompok seberangnya. Penting untuk kita sadari bahwa perbedaan adalah ujian, kita disatukan oleh persamaan, bukan perbedaan. Perbedaan merupakan sumber konflik dan perbedaan akan terus ada dan akan semakin banyak hingga kiamat nanti, maka pertikaian di dunia ini akan terus ada, pertikaian sudah dimulai sejak dahulu kala dan akan berlangsung selama peradaban manusia, sedangkan perdamaian adalah masa istirahat dari pertikaian. Serem juga, tapi itu faktanya. Fakta  yang menyedihkannya, bahkan banyak pertikaian yang terjadi yang didasari oleh agama.

Penyebabnya, satu : Kebodohan.  Ketidaktahuan akan menghantarkan pada kesengsaraan. Oleh sebab itu, kebodohan harus diperangi, tapi memerangi kebodohan bukan hal yang mudah, pada orang yang berpendidikan sarjana pun tidak terlalu sulit bagi saya menunjukkan bahwa mereka tidak layak menyandang gelar sarjana. Sebagian besar dari mereka sampai sekarang masih tukang copy paste artikel, mungkin juga itu termasuk Anda.

Melalui tulisan ini saya mengajak Saudara untuk berpikir, karena hakekat manusia adalah berpikir, ketika ia tidak berpikir maka ia bukan manusia. Al Qur'an sebagian besar isinya adalah kisah-kisah, sejarah, dan pengetahuan dan Allah SWT dalam Al Quran begitu banyak menyeru manusia untuk berpikir. Punya pengetahuan saja tidaklah cukup jika tidak mengembangkan daya pikir. Pikiran harus terus diransang, merangsang pemikiran adalah dengan pertanyaan. Kekerdilan pemikiran akan menghantarkan kita pada keterbelakangan dan kebodohan.

Kembali lagi pada keyakinan dan kebenaran, keyakinan dan kebenaran merupakan hal yang fragile, terlebih pada keyakinan yang belum bisa dibuktikan. Bagi saya seorang statistisi kebenaran itu juga rapuh, kebenaran merupakan suatu fakta yang belum ditemukan kesalahannya, jika sudah ditemukan kesalahannya maka hal yang benar tersebut  runtuh dengan sendirinya. Begitu juga, kalau meyakini jangan fanatik sempit, itu akan mengantarkan pada kebodohan. Ada dua ungkapan yang relevan sebagai sebuah nasehat yang berhubungan dengan kebenaran, 'kalau benar jangan sombong' dan  'Jangan takut salah'.

Tapi saya berharap apa yang saya sampaikan di atas salah semua, setidaknya kalimatnya menjadi  " Perdamaian itu abadi dan pertikaian itu sementara " . Amiin

Salam Kompasiana

Di Tepian Peradaban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun