Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Negara Indonesia yang baik hati

Presiden Golput Indonesia, pendudukan Indonesia yang terus menjaga kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Merancang Demokrasi Murah dan Berkualitas

8 April 2014   15:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu hal dari pelajaran PPKn yang masih saya ingat sewaktu SMA dulu adalah bahwa Indonesia tidak bisa melaksanakan demokrasi langsung karena wilayah yang sangat luas dan biayanya sangat mahal. Tapi tidak berapa lama setelah saya lulus lulus SMA, DPR dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang untuk melakukan pemilihan langsung atau demokrasi langsung, dimana legislatif dan presidennnnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Saya agak tercengang dengan undang-undang ini. ini cukup konyol.

Amerika saja, kiblatnya demokrasi dunia yang telah berpengalaman ratusan tahun tidak menerapkan demokrasi langsung. Itu bukan karena mereka tidak punya dana tapi sistem demokrasi secara perwakilan masih dirasa menjadi terbaik di Amerika, sehingga sistem ini masih dipertahankan hingga sekarang.

Saya mencoba mengingat dan memahami kembali, mengapa Indonesia mengesahkan sistem demokrasi langsung. Mungkin KKN menjadi jawabannya, waktu itu KKN yang dilakukan pejabat publik menjadi pusat isu penyebab kebobrokan negeri ini. Akibatnya sistem pemilu diubah. Padahal masalanya adalah penegakkan hukum.Hasilnya bisa kita sekarang ini, meskipun Indonesia telah melaksnakan demokrasi langsung. Jumlah pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif yang terlibat korupsi tidaklah turun malah katanya terjadi peningkatan. Maka sistem demokrasi langsung telah gagal menjawab permasalahan KKN.

Gelaran pemilu atau yang disebut juga pesta demokrasi rakyat yang akan dihelat pada tanggal 9 Aprildan 9 juli nanti bukanlah hal yang murah. ini sangat mahal. Namun kualitas hasilnya tidak ada yang bisa menjamin akan lebih baik dibandingkan mereka yang terpilih pada 2009 lalu. Sangat disayangkan sekali jika akhirnya orang-orang yang salah ternyata nanti terpilih mewakili rakyat.

Saya sebelumnya adalah orang yang menyerukan untuk jangan golput, tapi belakangan ini saya memutuskaan untuk golput. Kenapa?Alasan pertama saya golput, bahwa KPU tidak menjamin legitimasi suara konstituen jika ternyata caleg yang terpilih kinerjanya jauh dan janjinya, konstituen tidak bisa berbuat apa2, konstituen tidak bisa melakukan tindakan hukum untuk menghukum si caleg, jika menghukumnya dengan cara tidak memilihnya pada pemilu berikutnya maka itu adalah hukum yang terlalu lemah. Kedua, KPU tidak melakukan tes seleksi caleg yang pantas untuk menduduki legislatif. PNS saja tes seleksinya begitu ketat, mengapa caleg yang kedudukannya lebih power full dibandingkan PNS tidak ada sistem tesnya? Maka mengharapkan Indonesia lebih baik dengan sistem yang lama, sepertinya sebuah omong kosong.

Membangun negara ini tidak bisa diserahkan pada orang-orang yang tidak mengerti politik dan masalah negara ini. Hal ini berlaku bukan hanya pada yang dipilih tetapi juga pada yang memilih. Caleg tentu wajib mempunyai kapasitas ilmu dan wawasan mengenai bidangnya, tetapi pemilih juga wajib memahami politik dan ketatanegaraan. Orang yang memilih dalam pemilu tetapi tidak paham dengan politik itu tidak lebih baik dari mereka yang golput. Orang yang asal pilih dalam pemilu karena tidak punya pengetahuan dan menyebabkan politisi korup terpilih maka mereka ikut andil pada permasalahan ini. Inilah pemilu yang tidak berkualitas yang dilaksanakan menghabiskan uang triliunan.

Terus solusinya gimana? Saya mencoba merancang pemilu murah dan berkualaitas. Saya meilihat permasalahan pendidikan politik adalah hal yang vital dalam era kita berdemokrasi. Pemikiran yang ingin saya bangun adalah orang yang pantas berpartisipasi dalam pemilu adalah orang yang mengerti/melek dengan politik dan permasalahan negeri ini. Memberi kesempatan "orang buta" untuk memilih itu sama saja melakukan pengundian dadu terhadap nasib negara ini. Ini gila.

Pendidikan politik yang coba saya gagas, mereka yang akan memilih dan dipilih itu harus dites terlebih dahulu mengenai wawasan mereka tentang kehidupan bernegera atau politik. Tidak semua orang yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah berhak ikut pemilu, jika mereka "buta" apa yang mau diharapkan?.Dengan begitu harapan untuk memunculkan orang yang berkualitas menjadi lebih masuk akal. Tapi dengan sistem lama, seperti sekarang ini, suara yang berasal lulusan S3 yang bergelar profesor sama nilainya dengan suara orang yang tidak lulus SD, sama-sama dihitung satu suara. Apa itu adil? tentu tidak.Sekarang pertanyaan, mana yang lebih banyak orang yang mengerti politik atau tidak yang tidak mengerti politik? Saya tidak bisa kasih angka, tapi perkiraan saya masih sangat banyak orang yang tidak mengerti politik.

Tingginya partisipasi pemilih bukan jaminan tingginya kesadaran politik. Alasannya karena politik uang masih menjamurmenggerakkan pemilih ke TPS. Di daerah-daerah yang jauh dari kota, yang tidak terjangkau panwaslu atau bawaslu, politik uang sudah menjadi rahasia umum.

Bercermin dari hasil quick count, quick count bisa menyajikan hasil yang sangat mendekati dengan hitungan real pemilu hanya dengan mengambil beberapa sample. Oleh karena itu sebenarnya tidak perlu semua orang harus ikut pemilu, Saya mencoba menggagas dengan sistem rasio proporsi, misal 1:5 atau 1:10, jadi suara 5 orang cukup diwakili oleh satu orang suara atau suara 10 orang cukup diwakili oleh satu orang suara. Orang yang berhak mewakili adalah orang yang telah melewati tes atau uji wawasan politiknya.

Maka dengan sistem ini, pemilu bisa dilaksanakan lebih murah karena jumlah pemilih bisa ditekan menjadi seperlima atau sepersepuluhnya. Dan harapan pemilu yang berkualitas pun bisa diwujudkan karena politik uang pun bisa diminimalisir.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun