Film yang banyak diperbincangkan itu sehabis itu mengusik keingintahuan saya tentang momen G-30S. Mulailah saya menelusuri ingatan jaman kecil, membaca artikel-artikel secara online, dan menanyakan kepada orangtua tentang tentang 1965.
Salah satu yang saya ingat berasal dari pendidikan di SD yaitu kunjungan ke Lubang Buaya tiap tiap tahun. Juga pelajaran sejarah soal momen tragis yang memakan banyak korban, di antaranya cerita tentang enam jenderal yang dimutilasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
Buku pelajaran sekolah tetap menggambarkan kekejaman PKI. Kami termasuk diberi PR untuk menyaksikan dan merangkum film Pengkhianatan G 30 S-PKI. Waktu kecil, saya tidak habis pikir mengapa kita anak SD kudu menyaksikan film sekeji dan sesadis itu. Sebagai anak yang tidak suka film horor, menyaksikan film tentang pembunuhan adalah tentang yang tidak menggembirakan bikin saya.
Beruntung, ibu memaklumi ketidaksukaan saya dan menolong mengerjakan PR, tanpa saya kudu menyaksikan film itu. Mungkin saya termasuk segelintir orang yang lahir di jaman pemerintahan Soeharto yang tidak dulu menyaksikan Pengkhianatan G 30 S-PKI sampai selesai.
Sekolah mengharuskan saya untuk tidak parah menanyakan tentang komunisme atau PKI. Namun, saya mendapat cerita bersama bersama versi yang sedikit tidak sama berasal dari orangtua. Beberapa kawan kuliah ibu adalah anak-anak berasal dari PKI, dan mereka terlampau bersyukur sebab bisa kuliah di universitas terkemuka. Banyak anak eks PKI dipersulit untuk mendapat pendidikan, melacak pekerjaan dan mendapat promosi di pekerjaannya.
Kakek sepupu saya termasuk sempat dipenjara atas tuduhan terlibat di PKI. Dia dipenjara tanpa diadili dan tanpa bukti yang kuat. Menurut ibu, terhadap jaman itu, banyak yang memanfaatkan momen G-30 S untuk keperluan diri sendiri. Misalnya memfitnah orang-orang yang tidak disukainya bahwa mereka tentang bersama bersama PKI. Banyak orang tidak bersalah menjadi korban; entah dipenjara atau dibunuh.
Mundur sejenak berasal dari seluruh detail suram, kita menjadi bertanya-tanya, "siapa dalang di balik ini?" atau, "siapa yang dapat menarik keuntungan berasal dari tragedi ini?" Rezim Soeharto? Amerika? Keduanya? Atau, apakah ternyata serupa bersama bersama banyak tragedi di belahan dunia lain; mudwise bahwa Indonesia th. 1965 sekedar keliru satu medan perang antara dua kekuasaan utama dunia (dalam persoalan ini Amerika dan Rusia),yang coba mengklaim wilayah untuk mereka, bersama bersama mengorbankan penduduk lokal.
Sepanjang sejarah, kita telah menyaksikan tentang semacam ini. Perebutan kekuasaan antara Inggris-Rusia di Asia Tengah terhadap 1800-an, sampai perang nuklir yang nyaris berjalan antara Amerika dan Rusia di Kuba; yang berjarak ratusan kilometer berasal dari negara-negara itu. Juga, apa yang tengah berjalan di Suriah pas ini.
Tragedi semacam ini tetap berulang; tetap mengorbankan penduduk lokal dan mengorbankan warga yang tidak bersalah. Jadi, pas nampak pertanyaan tentang haruskah pemerintah Indonesia meminta maaf kepada warganya atas tentang 1965, jujur, saya tidak tahu. Pernahkah Rusia (atau pemberontak yang didukung Rusia) meminta maaf sebab telah menembak jatuh pesawat Malaysia Airlines di Ukraina? Sudahkah Amerika mengakui kekacauan yang mereka mengakibatkan di Suriah? Jadi, haruskah pemerintah lokal bertanggungjawab? Entahlah.
Menurut saya, pertanyaan yang lebih penting adalah, bagaimana kita kudu melakukan tindakan ke depan. Kisah apa yang kudu kita ceritakan ke generasi muda, dan pelajaran apa yang bisa kita ambil berasal dari seluruh itu. Blog online layaknya "Ingat 1965" adalah layanan penting didalam bisnis melibatkan dan mengedukasi para generasi muda tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Pada zaman Orde Baru, buku-buku sejarah dan kelas-kelas di sekolah sekedar alat propaganda yang digunakan rezim itu untuk mengendalikan masyarakatnya. Saya sungguh berharap, kelas-kelas sejarah di Indonesia pas ini telah berubah menjadi area yang penuh bersama bersama diskusi terbuka, yang mendorong para murid untuk mengutarakan pertanyaan-pertanyaan berani, untuk saling berdebat dan menantang ide-ide populer.
Untuk menjadi bangsa yang hebat, saya yakin kita kudu mengetahui, dan menyadari apa yang telah dialami bangsa ini. Sudah saatnya termasuk penduduk dan kalangan akademis memperlakukan sejarah bangsa bersama bersama antusiasme yang serupa layaknya mereka memperlakukan perkembangan ilmu pasti. Karena sejarah Indonesia adalah anggota penting berasal dari identitas kita. Kita kudu menyadari asal-usul kita, sehingga jangan sampai mengulang kekeliruan yang sama.
Memang, tidak gampang dan terlampau sulit. Khususnya bagi bangsa yang punya beranekaragam suku dan bhs di lebih berasal dari 17.000 pulau. Namun pengharapan saya tidak dulu putus, untuk Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H