Mohon tunggu...
Inez Xaviera
Inez Xaviera Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswi

menulis dan desain visual

Selanjutnya

Tutup

Healthy

An Illness In The Shadows: Life with Borderline Personality Disorder

2 Juli 2022   00:01 Diperbarui: 2 Juli 2022   15:31 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswi Komunikasi - Universitas Siber Asia

Sambil duduk bersandar dan bersenda gurau. Perempuan itu, mengembangkan senyuman manisnya yang indah itu sambil mengisi perbincangan yang berputar pada masa lalunya yang melekat dimemorinya. Dari ruang tamu, di tengah obrolan kami, sebut saja Ana, ia mulai bercerita mengenai mental illness yang dia alami.

Perempuan berumur 26 tahun ini mempunyai background yang mana dia anak broken home yang ditinggalkan oleh ayahnya. "Bisa dibilang aku itu fatherless girl sih, karena aku sama sekali gak deket sama ayah secara emosional maupun fisik" ujarnya. Dengan suara yang tersedu-sedu Ana kembali melanjutkan ceritanya mengenai ayahnya itu, "ayah aku itu sikapnya otoriter, keras pendirian, suka membanding-bandingkan, mudah berkata kasar, suka men judge aku juga dan lebih parahnya sih dia suka main fisik ke aku, ya begitulah jadinya diri dia sendiri yang menciptakan jarak semakin jauh antara aku dan adik-adik ku".  

Masa kecil Ana tak jauh berbeda seperti masa kecil anak-anak lain pada umumnya. Ana merasakan puasnya belajar dan bermain dengan teman-temannya, tetapi ada perbedaan yang mana masa kecil Ana tidak seperti teman-temannya. Ana mengalami pelecehan seksual beberapa kalinya dengan laki-laki dewasa berhidung belang yang mana kejadian itu menjadikan Ana sangat trauma untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, "waktu itu aku masih kecil, jadi aku gak bisa melakukan perlawanan ke orang itu" ujarnya sambil meneteskan air mata, sesekali mengusap air mata yang membasuhi pipinya itu, dan dalam kejadian pelecehan seksual itu menjadi trauma yang bertubi-tubi bagi Ana di masa pertumbuhannya sampai dewasa ini.

Dalam kejadian tersebut peran Ayahnya pun tidak tanggap untuk melindungi Ana, sangat disayangkan Ana hanya bisa membisu sampai waktu yang tepat dia untuk bisa memberitahukan kejadian itu ke Ibunya. Mendapat trauma yang sangat begitu dalam menjadikan perjalanan hidup Ana berantakan, "aku itu dari sekolah aja udah berantakan secara sosial, jadi trouble maker, dibully, yaah pokoknya gak asing deh kalau aku ini selalu dapat hukuman dari guru" katanya. Tidak dipungkiri Ana tumbuh menjadi sosok anak yang sangat emosional dan haus akan kasih sayang. "Tapi aku masih bersyukur meskipun problem aku yang seperti itu, tidak mempengaruhi nilai akademis aku, aku masih bisa belajar dengan baik bahkan aku juga bisa mengalahkan siswa yang lainnya" ujarnya lagi.

Umur semakin bertambah dan waktu terus berjalan, dengan trauma masa kecil Ana yang masih melekat di tubuh dan memori Ana dan kekerasan yang Ana dapat dari sosok Ayahnya, Ana jadi semakin tidak bisa mengendalikan emosi Ana, dia menjadi orang yang implusive, kemarahan yang meledak-ledak, selalu ketergantungan sama orang lain, mood extreme yang dapat berubah-rubah, tidak mudah bergaul dan berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri, "aku tuh sebetulnya gak kuat, tapi gak ada yang bisa ngertiin aku" kata Ana.

Sayangnya dengan lingkungan Ana yang agamis banget tidak dapat menolong Ana untuk mengahadpi hal-hal yang tidak bisa Ana kendalikan dari diri Ana. "Semua orang di sekitar aku itu nyangkanya aku tuh kurang Ibadah, kurang iman, pokoknya kurang sekurang-kurangnya deh, mereka sama sekali gak mau bertanya kenapa semua ini bisa terjadi, apa penyebabnya tuh engga" ujarnya. Tidak dipungkiri semua tuduhan itu semakin bikin Ana merasa  gagal dengan diri sendiri, dan keinginan untuk merusak diri semakin besar.

"Makin kesini aku tuh sadar kok aku masih labil, makin agresif, depresi berat, rapuh, perasaan tuh kosong aja dan aku ngerasa ada yang gak beres sama diri aku" ujar Ana. Kemudian Ibu Ana mencoba membawa Ana ke psikolog lalu Ana dirujuk ke psikiater, lalu Ana menjalani beberapa test kesehatan mental dan hasilnya tidak lolos, "aku udah jalanin 3x test loh dan hasilnya gak kebaca juga, sampai aku langsung disuruh test yang namanya MCMI-IV dan baru ada hasilnya" sambung Ana. Dari sini lah Ana mulai rutin terapi dan konsultasi.

Ana sudah mengalami symptom BPD (Borderline Personality Disorder) sejak usia SMP. Ana menjadi depresi di usia SMA dan BPD Ana semakin parah di usia 19 tahun sampai 20 tahun. Sayangnya karena stigma saat itu tentang kesehatan mental belum begitu baik di lingkungan Ana, bahkan mungkin di Indonesia hingga saat ini. Ana tidak dapat sedikitpun treatment yang baik dan benar, meski Ana hidup di lingkungan dan sosial berbudi dan beragama, karena mereka masih tidak mengerti dan tidak paham tentang nyatanya gangguan mental, dan akhirnya Ana baru bisa mendatangi psikiater di usia 23 tahunnya.

Di usia yang masih terbilang muda, Ana sudah hidup dengan BPD yang mana seperti ada seseorang yang lain di dalam diri Ana sendiri. Perasaan yang kosong ekstrim, merasa lepas dengan diri sendiri dan realita (karena adanya delusi atau pemahaman yang salah dalam menilai sesuatu), loss of identity, implusif, sangat sensitive dan emosional terutama pada isu penerimaan diri, manyakiti diri sendiri, mengancam untuk bunuh diri, sensifitas yang tinggi terhadap emosi dan adanya delusi, itu semua yang semakin memberatkan diri Ana dalam menghadapi berbagai fenomena yang dia hadapi. Ana seringkali punya pengertian yang justru menyesatkan dalam pikiran Ana sendiri. 

"Saat itu aku coba memutuskan untuk menikah mungkin itu terdorong dari perasaan kesepian ekstrim aja kali ya, karna aku pikir aku tuh harus mencari seseorang yang tidak akan pergi meninggalkan ku, yang mana dapat bisa menggantikan sosok Ayah, yang bisa menjadi bagian dari hidup aku" ujar Ana. Tetapi Ana cukup implusif ketika memutuskannya secepat itu tanpa memikirkan resiko yang besar dibalik itu. Terutama PTSD dari pelecehan seksual yang Ana alami, itu tidak pernah Ana sadari sampai Ana menikah dan hilang kendali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun