Mohon tunggu...
inez fahira04
inez fahira04 Mohon Tunggu... Mahasiswa - public administration student

Hallo, saya merupakan seorang mahasiswa administrasi publik yang hobi membaca dan tertarik pada isu-isu tata kelola pemerintahan dan manajemen publik. Saya berharap dapat mengaplikasikan ilmu yang saya pelajari ke dalam kehidupan nyata dan terlibat dalam proyek-proyek yang berdampak positif pada masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Petisi Online Menjadi Salah Satu Alat Advokasi Kebijakan Publik di Indonesia

31 Maret 2024   10:20 Diperbarui: 31 Maret 2024   22:37 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip demokrasi (Sorensen, 2003). Hal ini sudah dilakukan sejak era reformasi 20 tahun lalu. Salah satu prinsip demokrasi yang selalu dijunjung tinggi di negeri ini adalah kebebasan. Semua warga negara mempunyai kebebasan yang sama  dalam bernegara. Menurut Sorensen (Rahman, 2020) mengatakan demokrasi memerlukan pengakuan hak asasi manusia (Bill of Rights). Selain hak untuk memilih, juga terdapat hak yang sama untuk berpartisipasi, menyatakan pendapat pribadi, dan memantau kegiatan yang dilakukan pemerintah di setiap saat.

Menurut Rahman (2020) pada saat ini muncul model baru dari demokrasi, yaitu demokrasi digital. Model ini memiliki beberapa keunggulan, Salah satunya adalah adanya ruang partisipasi politik yang luas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara. Demokrasi digital muncul karena pengaruh teknologi informasi. Presiden Roosevelt pernah berkata, “Demokrasi tidak statis” Demokrasi bersifat dinamis, sama dinamisnya dengan peradaban manusia yang memanfaatkannya. Teknologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika demokrasi dan pada akhirnya menciptakan model-model baru dari demokrasi itu sendiri  (Rahman, A. 2020). Hal ini menyebabkan munculnya media baru sebagai sarana partisipasi publik. Salah satu contoh platform tersebut ialah petisi online dimana maraknya penggunaan petisi online menunjukkan bahwa masyarakat semakin aktif dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan perubahan melalui platform petisi online digital. Ini bisa menjadi sarana yang efektif untuk memobilisasi dukungan massal terhadap isu–isu penting. Platform petisi online membuat masyarakat semakin terhubung, sehingga kepedulian mereka atas isu tertentu menjadi lebih mudah dan lebih cepat tersebar, serta dukungan atas kepedulian tersebut menjadi lebih mudah diperoleh.

Saat ini jumlah pengguna petisi online mengalami peningkatan dan di Indonesia terdapat 2 platform petisi online (Alifa, Syam, dan Muharman, 2021). Pertama muncul pada tahun 2011 yaitu platform Petisi online.net dengan jumlah pengguna 300.000. Kedua, platform petisi online ini muncul pada tahun 2012 yaitu Change.org dengan jumlah pengguna sebanyak 130, kemudian pada tahun 2019 mengalami kenaikkan sebanyak 13.300.000.

Petisi online merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang menghubungkan masyarakat dan pemerintah. Namun bentuk partisipasi politik ini juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Menurut Linder & Riehm (2011)  petisi online didefinisikan sebagai permintaan kepada otoritas publik, lembaga pemerintah atau parlemen (Simamora, 2017). Tujuannya untuk mengubah kebijakan publik atau mendorong tindaka tertentu oleh institusi publik. Pengaruh petisi online terhadap isu politik memberikan solusi bagi para praktisi advokasi politik. Advokasi kebijakan mencakup upaya meningkatkan kesadaran melalui media, pengorganisasian, kampanye (edukasi dan mobilisasi), lobi, riset dan analisis kebijakan, event, dan penggunaan sistem legal dan litigasi.

Petisi online dalam konteks advokasi kebijakan adalah upaya untuk mengumpulkan dukungan dari masyarakat secara digital terhadap suatu perubahan atau isu tertentu yang berkaitan dengan kebijakan publik (Rahman, 2020). Melalui petisi online, para penggiat advokasi dapat menggalang opini dan mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan yang diinginkan oleh masyarakat. Ini adalah salah satu cara yang efektif untuk memobilisasi dukungan massal dan membuat suara masyarakat didengar dalam proses pembuatan kebijakan.

Di Indonesia, peraturan hukum mengenai petisi online diatur oleh beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hak untuk mengajukan permohonan diatur dalam ketentuan kebebasan berkumpul, berserikat, dan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 A-J, dan juga  dalam hukum hak asasi manusia (Safitri dan Piris, 2022). Petisi online yang banyak digunakan di Indonesia sendiri adalah Change.org. yang merupakan forum protes  digital yang dapat merespon aspirasi masyarakat terhadap isu-isu yang menyentuh kehidupan mereka dan menjadi masukan dalam pengambilan keputusan oleh para pengambil kebijakan, mempertimbangkan protes yang diprakarsai oleh platform tersebut. Hal ini tidak sulit karena media mempunyai dampak yang  besar terhadap setiap aspek kehidupan masyarakat.

Change.org sendiri pertama kali berdiri pada 7 Februari 2007. Platform ini didirikan oleh Ben Rattaray, seorang mahasiswa dari Universitas Stanford. Awalnya Ben mendirikan sebuah blog bersama temannya Mark Dimas karena dia ingin berbuat sesuatu setelah adiknya diperlakukan secara tidak adil. Oleh karena itu Ben mendirikan blog tersebut. Change.org Indonesia tercatat mulai meluncur di Indonesia pada 4 Juni 2012. Change.org Indonesia merupakan cabang dari Change.org global yang semula dikelola oleh Usman Hamid sebagai Direktur Kampanye, Arief Aziz sebagai Direktur Komunikasi, dan Dhenok Pratiwi sebagai Campaigner (Rahman, 2020).

Salah satu contoh kasus pada platform Change.org yang berhasil adalah tentang persoalan kebijakan RKUHP dan UU MD3 (Alifa, Syam, & Muharman, 2021). Dimana dalam kasus tersebut beberapa masyarakat ada yang tidak setuju atau keberatan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu platform ini muncul untuk memberikan wadah atau tempat terhadap aspirasi masyrakat atas ketidak setujuan mengenai kebijakan RKUHP dan UU MD3.

Petisi online memang menjadi salah satu cara yang populer digunakan untuk menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap suatu kebijakan. Namun, agar petisi online bisa berhasil dan memiliki dampak yang lebih besar, dalam menjalankan petisi online terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan yaitu, change.org Indonesia berusaha untuk memperoleh perhatian media dengan cara mengadakan press conference, mengirim press release, dan menjalin hubungan baik dengan jurnalis serta media. Mereka mengirimkan informasi tentang petisi yang menarik melalui email yang dikirm setiap minggu, dan upaya ini memperoleh respon positif dari media sehingga isu petisi banyak dimuat oleh media. Media massa dan media online tertarik dalam mengangkat isu dari petisi online sehingga platfrom petisi online Change.org Indonesia berpotensi mendapatkan pemberitaan. Kemudian upaya yang dilakukan agar dapat meningkatkan peluang liputan oleh media adalah dengan melibatkan selebriti. Keterlibatan  selebriti dan publik figur cenderung menarik perhatian media karena nilai berita yang tinggi dan berpotensi menarik perhatian publik (Destrity, 2018). Dengan demikian, melibatkan selebriti dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan popularitas petisi online. Selain melibatkan media dan publik figur perlu juga untuk mencari dan mendapatkan dukungan dari komunitas-komunitas yang memiliki kepentingan yang sama sehingga dapat memperkuat dan mendukung petisi.

Pada dasarnya, petisi online tidak selalu dapat merubah kebijakan secara langsung, hal ini dikarenakan terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Sebuah petisi online meskipun didukung oleh ribuan tanda tangan bisa saja tidak berhasil apabila tanpa adanya dukungan aksi di lapangan atau lobi yang kuat. Oleh karena itu, petisi online harus didukung dengan strategi advokasi lainnya seperti kampanye dan aksi langsung. Platfrom petisi online Change. org Indonesia berhasil dalam mengadvokasi kebijakan UU MD3 dan RKUHP karena dapat mencuri perhatian pembuat kebijakan melalui aktivitas advokasi media seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan Email serta kampanye offline seperti aksi demonstrasi serta mendapatkan dukungan dari masyarakat yang luas. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Destrity (2014) juga menunjukkan bahwa aktivitas advokasi kebijakan lain seperti media, kampanye online dan offline, lobi, pengorganisasian, dan event bisa menjadi faktor pendukung perubahan kebijakan (Alifa, Syam, & Muharman, 2021). Selain itu, dukungan dan respon positif dari pembuat kebijakan atau target yang dipetisikan juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi terjadinya perubahan kebijakan. Semua faktor ini harus dijalankan secara bersamaan untuk meningkatkan peluang keberhasilan petisi online dalam mengubah kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun