Mohon tunggu...
inengah jeffry
inengah jeffry Mohon Tunggu... -

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Iklan Politik di Indonesia

9 April 2013   20:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:27 5070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu Iklan politik? Iklan merupakan taktik untuk memikat audience melalui berbagai strategi, serta mengevaluasinya, sehingga dapat menganalisis efektivitas komunikasi antara source dan decoder. Iklan merupakan bentuk komunikasi massa, komunikasi yang dilakukan oleh pengiklan (advertiser) untuk mengomunikasikan sesuatu kepada konsumen (decoder) melalui channel (media). Dan iklan digunakan untuk mencapai sasaran jangka panjang dan jangka pendek (Santosa, 2009:1). Dari pengertian iklan menurut Sigit Santosa dalam buku “Creative Advertising” dan jika padukan dengan politik, maka iklan politik adalah taktik penyampaian pesan, baik pesan verbal (visi dan misi) maupun pesan verbal (foto diri) melalui media yang didesain sedemikian rupa secara komunikatif guna menarik hati masyarakat atau audience. Iklan politik biasanya disampaikan oleh kelompok orang yang tergabung dan ada sangkut pautnya dengan partai politik tertentu.



Iklan politik dapat dikategorikan iklan komersil. Iklan yang menawarkan sekaligus mengajak audience untuk memilih mereka. Kampanye dan cara promosi mereka merupakan bagian dari fenomena bisnis pengenalan diri dan mengambil hati audience. Partai politik atau perusahaan mana yang tak ingin maju dan memenagkan kompetisi bisnis pemilihan umum tanpa adanya iklan diri. Berkembangnya zaman, strategi iklan politik semakin cangkih. Banyak partai politik yang saat ini mendadak menjadi selebritis. Ia tersorot dalam media massa televisi dan sekaligus beriklan, sehingga dapat dipilih dan dikenal oleh masyarakat pada saat pemilihan mendatang. Sebaliknya, para selebritis pun sekarang banyak yang terjun kedalam dunia politik. Mereka yang sudah dikenal orang masyarakat, sehingga begitu mudahnya memperkenalkan diri pada masyarakat.



Sebenarnya jika kita amati dan kita pahami lebih dalam, iklan politik tidak hanya sebagai alat beriklan. Akan tetapi, iklan politik juga dapat menaikan popularitas agar dikenal dan dipilih. Ditambah dengan adanya pesan visual dan pesan verbal yang bersifat lokal. Maka para masyarakat juga sangat mudah merubah pandangan politik dan persepsi masyarakat dengan dibuat sinisme politik.



Iklan politik biasanya menampilkan visual terutama tokoh dari partai politik tersebut (caleg). Akan tetapi ada juga yang menampilkan figur yang telah menjabat dimasa sebelumnya. Contoh halnya seperti PKB yang menampilkan figur Gus Dur, atau PDI yang menampilkan figur Soekarno. Hal ini merupakan pelanggaran etika pariwara Indonesia (EPI) tentang etika beriklan. Dan verbal yang berunsur sara atau mengadu domba sekalipun secara tidak langsung dan bersifat subjektif karena berdasarkan penilaian masyarakat akan pro kontra dalam menanggapi hal tersebut, dan hanya janji manis atau bualan semata. Namun masih banyak partai politik yang melanggar dalam beriklan, sekalipun sudah adanya peraturan akan iklan politik. Dari kasus ini banyak yang disayangkan, baik seperti kasus yang dijelaskan diatas maupun media yang diterapkannya. Media yang diterapkannya lebih sering tidak efisien atau tidak melihat manfaat jangka panjang. Seperti halnya stiker yang ditempelkan lebih dari satu dan menganggap ruang publik seakan milik mereka. Tidak hanya stiker yang ditempel, banner dan spanduk pun ikut menghiasi ruang publik dan tanpa pengawasan yang tidak ada tindak lanjutnya dari partai politik yang memasang. Hal ini terlihat banyak banner atau spanduk yang masih terpasang hingga robek atau terhempas angin dan tanpa ada tindak lanjut jika tidak ada masyarakat yang suka rela melepas atau membenarkan posisinya. Yang parahnya lagi, bambu atau material yang digunakan untuk memasang media itu terkadang ditinggal begitu saja hingga rusak atau tidak layak pakai lagi. Semua hal ini termasuk dalam sampah visual yang tidak mempertimbangkannya aspek estetika beriklan atau media yang diaplikasikan dan diterapkan kedalam masyarakat. Seperti kelelawar yang hanya mementingkan urusan pribadi dan meninggalkan bekas atau sampah tanpa ada tindak lanjutnya.



Dari hal yang telah disampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa iklan politik merupakan taktik dari suatu upaya mencari polularitas dimata masyarakat dengan menebar janji berupa visi dan misi. Namun dari iklan politik tersebut ada beberapa yang disayangkan, yaitu tindak lanjut dalam beriklan politik. Yang menelantarkan iklan tanpa ada tindak lanjut dan menjadi sampah visual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun