Filosofi Petani
Keringat datang silih bergantiÂ
Tak pernah terhitung oleh anak jari
Badai Melanda
Tak pernah berbisik dengan kata permisi
Cuaca yang bermuara, selalu lepas dari kompas nalar yang ada
Hama menyerang, seolah-olah tak pernah punya kandang
Cangkul, selalu bermandikan lumpur
Walaupun ia tau, suatu saat ia akan terbanting dan pecah
Topi sawah selalu rapuh
Sebelum petani menikmati beras yang dihasilkannya
Orang-orangan sawah, selalu punya cara sendiri
Dalam menjaga padi.
Puisi ini memiliki makna  tentang perjuangan seorang pendidik dalam mendidik anak bangsa.
Unsur budaya pertanian (persawahan) menggambarkan kearifan lokal bangsa Indonesia.Â
Pendidik laksana seorang petani dalam mengelola sawah guna mendapatkan kualitas yang terbaik.
Keringat datang silih berganti tak pernah terhitung oleh anak jari (Perjuangan seorang guru yang tiada tara dalam mendidik anak muridnya )
Badai melanda tak pernah berbisik dengan kata permisi ( Tantangan zaman yang datangnya susah diprediksi, contohnya di era globalisasi masuknya budaya budaya asing tanpa terkendali yang membuat generasi muda bangsa perlahan melupakan budaya sendiri)Â
Cuaca yang bermuara, selalu lepas dari kompas nalar yang ada (Keadaan yang cepat berubah, seperti kualitas SDM peserta didik yang jauh menurun dibandingkan dahulu)
Hama menyerang, seolah-olah tak pernah punya kandang ( Teknologi sudah masuk kesegala lini, dampak teknologi negatif yang sudah tidak bisa dibendung lagi )
Cangkul, selalu bermandikan lumpur. Walaupun ia tau suatu saat ia akan terbanting dan pecah (Salah satu solusinya yaitu sifat yang harus dimiliki pendidik seperti ikhlas dan sabar)
Orang-orangan sawah, selalu punya cara sendiri dalam menjaga padi. (Solusi lainnya adalah, pendidik harus bisa kreatif dan inovatif dalam mengajar serta merancang pembelajaran yang nantinya bisa efektif bagi peserta didik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H