Mohon tunggu...
Suci Indriyani
Suci Indriyani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Program Studi Indonesia, Universitas Indonesia 2010

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paket Lengkap Bekal Pendidikan

8 Agustus 2014   04:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:06 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas Buku

Judul Buku          : Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para Pendidik

Penulis                 : Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan

Penerbit              : Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses

Tebal Buku          : iv + 260 hlm.

Tahun Terbit      : 2014

Resensi Buku

Oase Pendidikan di Indonesia berisi sekumpulan kisah inspiratif yang ditulis oleh para pengajar setia mengabdikan diri di jalur pendidikan Indonesia. Buku ini terbagi menjadi tiga bagian, bagian pertama berisi kisah-kisah yang terangkum dalam “Pembelajaran yang Memerdekakan”, bagian kedua “Anak dan Komunitasnya”, dan bagian ketiga “Membangun Profesionalisme Guru”. Melalui tiga bab tersebut, penulis demi penulis menuturkan secara apik kisah inspiratif mereka dengan bahasa yang sederhana dan mempesona. Pengelompokkan ini juga memberikan gambaran umum kepada pembaca bahwa sejatinya dunia pendidikan tidak pernah terlepas dari tiga hal: materi pembelajaran, siswa, dan guru atau pengajar.

Di dalam bagian “Pembelajaran yang Memerdekakan” disajikan  enam kisah heroik yang menjadi daya tarik pembaca untuk terus melanjutkan membaca. Keenam cerita itu ialah Belajar dari Gentong dan Celengan, Belajar dengan Puzzle Tubuh Manusia, Bergulat Memerdekakan Anak, Gios Tetap Peringkat Satu, Menciptakan Konflik di Kelas, dan Lagu Gaza untuk Murid-muridku.

Cerita Belajar dari Gentong dan Celengan menjadi kisah pembuka yang begitu berdaya guna. Kisah tersebut ditulis oleh pengajar Sanggar Anak Alam, Kabupaten Bantul, Yogyakarta ketika di sekolah anak-anak terlibat perseteruan kecil lantaran gentong tempat anak-anak mandi pecah. Anak-anak Sanggar Anak Alam mempunyai kebiasaan mandi di sekolah menggunakan pancuran yang dibuat dari gentong. Beberapa anak mengaku sering memasukkan tubuhnya ke dalam gentong mandi untuk merasakan berbagai sensasi seru khas anak-anak. Suatu hari, ketika tiba giliran Ken memasuki gentong, gentong tersebut pecah dan anak-anak gaduh saling menyalahkan. Selain mandi di sekolah, anak-anak Sanggar Anak Alam juga memiliki kebiasaan menabung di celengan masing-masing. Saat terjadi kemalingan di sekolah dan seluruh celengan anak-anak hilang, kegaduhan dan tangis-kecewa anak-anak kembali menggoncang sanggar.

Penyelesaian kedua konflik tersebut sangat sederhana, namun sarat makna: musyawarah. Pengajar mengajak anak-anak berkumpul dan bermusyarah untuk membicarakan permasalahan yang sedang terjadi. Dengan musyawarah, anak-anak belajar mengemukakan dan menghargai pendapat. Dalam kasus gentong, dialog interaktif yang dilakukan pengajar dan anak-anak membangun sikap solutif dan introspeksi diri dalam diri anak. Pada akhirnya anak-anak Sanggar Anak Alam sepakat untuk membeli gentong baru dengan hasil penjualan barang bekas. Anak-anak juga berjanji tidak akan ada yang masuk ke gentong lagi demi kebaikan bersama. Sementara itu, pada kasus celengan, anak-anak belajar dengan kekecewaan yang ditimbulkan dari perbuatan buruk (pencurian). Pengajar dengan bijak memberikan pemahaman kepada anak bahwa betapa tindak kejahatan berdampak sangat merugikan. Karena anak-anak merasakan langsung dampak kejahatan, anak-anak akan lebih berpikir ulang jika hendak melakukan hal buruk yang merugikan orang lain. Pemahaman yang disampaikan pengajar ini, menurut saya, begitu luar biasa!

Buku ini tidak hanya menyajikan kisah-kisah yang mendesirkan batin, tetapi juga menampilkan bentuk-bentuk metode pembelajaran yang super kreatif dan menyegarkan pikiran pembaca, apalagi jika pembaca adalah seorang pendidik. Dalam Lagu Gaza untuk Murid-muridku, Bambang Wisudo, pengajar Sanggar Akar dan Direktur Eksekutif Sekolah Tanpa Batas mengajar bahasa Inggris dengan metode yang sangat menarik. Bambang tidak mengajarkan Grammar atau Tenses seperti yang guru bahasa Inggris biasa lakukan di sekolah. Bambang mengawali pembelajaran dengan berkaraoke, mengajak anak-anak menyanyikan lagu We Will Not Go Down milik Michael Heart. Bagi Bambang, mengajar bahasa Inggris bukan sekadar membuat anak-anak lulus Ujian Nasional, melainkan juga mendorong anak-anak untuk aktif memahami berbagai literasi berbahasa Inggris.

Lagu We Will Go Down berisi lagu dukungan untuk rakyat Palestina di Gaza, dengan memahami lagu ini, emosi anak-anak terbangun untuk mencari tahu lebih banyak tentang isu Israel-Palestina. Selanjutnya, Bambang meminta anak-anak membaca artikel yang membahas tentang Michael Heart yang ternyata seorang yang aktif memperjuangkan hak-hak Palestina. Tidak berhenti sampai di situ, keingintahuan anak terus dirangsang dengan memperlihatkan video profil Micheal Heart dan perjalanannya dalam memperjuangkan Palestina. Anak-anak pun mengembangkan bahasan tersebut ke dalam diskusi hangat seputar pendudukan tanah Palestina. Bambang memperlihatkan kepada anak didiknya bahwa bahasa Inggris mampu memberikan berbagai pengetahuan baru yang semula tidak mereka tahu. Dengan demikian, anak-anak menjadi paham manfaat belajar bahasa Inggris yang bukan sekadar untuk lulus Ujian Nasional. Hasilnya, anak-anak mampu menulis surat untuk Michael Heart tentang keprihatinan mereka atas rakyat Palestina. Surti yang semula kemampuan bahasa Inggrisnya nol besar juga telah mampu berpuisi dengan bahasa Inggris dan mengembangkan hobi desainnya dengan melahap berbagai bacaan dalam bahasa Inggris.

Di bagian kedua, “Anak dan Komunitas Belajarnya” menyajikan sisi lain pendidikan yang berfokus pada anak didik. Bagian ini terdiri dari kisah Beasiswa dari Jepit Rambut, Ketika Anak Belajar Memaknai Kebebasan, dan Ciliwung Larung: Model Alternatif Pendidikan Melalui Teater Komunitas. Bagian ini seolah mengingatkan pembaca bahwa proses pembelajaran tidak hanya mengacu kepada konsep atau metode pembelajaran, tetapi juga kepada peserta didiknya. Dalam Beasiswa dari Jepit Rambut dikisahkan bagaimana kepala sekolah dan guru-guru  memperjuangkan muridnya yang kurang mampu untuk memberikan beasiswa berupa sepeda. “Dengan memiliki sepeda, diharapkan siswa itu tidak datang terlambat lagi ke sekolah. Ini berarti sudah mengembangkan nilai disiplin dan menanamkan rasa tanggung jawab untuk merawat dan menjaga sepeda pemberian sekolah” (Rismarini, 2014: 127).

SMP 2 Pagedangan bekerja sama dengan Rumah Moral rintisan Ibu Melly Kiong melibatkan seluruh elemen sekolah untuk membangun usaha pembuatan jepit rambut. Hasil penjualan itulah yang digunakan untuk membeli sepeda kepada siswa-siswa tidak mampu sebagai bentuk beasiswa dari sekolah. Melalui pendidikan kecakapan hidup ini pula SMP 2 Pagedangan mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, baik perseorangan, organisasi, maupun instansi. Pemberian beasiswa sepeda ini mengajarkan pembaca tentang sebuah kebermanfaatan yang dapat dimunculkan melalui semangat kebersamaan.


“Jika seluruh siswa sudah mempunyai sepeda, untuk lebih menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, ketaatan, dan kepatuhan, sekolah mempunyai rencana akan membuka kegiatan ekstrakurikuler sepeda. Dari kegiatan tersebut diharapkan siswa belajar tentang hukum, etika, dan kesopanan, serta tertib dalam berlalu lintas.” (halaman 135).

Di bagian ketiga, “Membangun Profesionalisme Guru”, pilar ketiga dalam dunia pendidikan, yakni pengajar disorot. Isu-isu di dunia perguruan diangkat melalui bingkai cerita yang apik, seperti Sertifikasi Bukan Sihir, Membangun Gerakan Guru Transformatif, IGI: Kekuatan Berbagi, Merajut Asa Melalui Pustaka, Guru: Motor Perubahan dari Akar Rumput, dan Para Pembelajar Pembelajaran. Bagian ini memberikan pemahaman baru bagi pembaca bahwa organisasi antarguru seharusnya memang banyak dibentuk karena pada dasarnya para pendidik butuh berserikat dan berkumpul untuk mengembangkan seni, metode, dan gaya pembelajaran.


“Secara politis, guru memiliki kekuatan yang besar. Guru persis seperti BRI, ada di mana-mana, ada di pelosok, di pedalaman. Guru adalah unsur kemajuan di masyarakat. Coba saja lihat di desa-desa, guru yang sering dijadikan sebagai rujukan oleh masyarakat. Guru seperti raksasa yang tidur. Masalahnya, sekarang tidurnya sudah kebablasan. Jadi gak bangun-bangun.” (Irawan, 2014: 204).

Dalam Membangun Gerakan Guru Transformatif, Irawan bercerita tentang pelatihan guru transformatif yang merupakan salah satu kegiatan Koalisi Pendidikan, Tanoto Foundation. Ketika Teten Masduki selaku fasilitator memberikan tambahan materi terkait redefinisi guru, para peserta diminta menyebutkan definisi guru menurut pribadi masing-masing. Teten mencatat semua jawaban yang masuk, antara lain guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pendidik dan pengajar, penerang dan pemberi pengetahuan, fasilitator, dan sebagainya. Seluruh pendapat tersebut oleh Teten dipandang sebagai kewajiban seorang guru, sementara tentang hak guru, tidak ada satu pun guru yang berbicara. “Wajar kalau nasib guru masih seperti ini. Anda semua tidak ada yang bicara hak ketika mendefinisikan diri Anda sendiri. Oleh karena itu, jangan harap orang lain mau memperjuangkan hak Anda, kalau Anda tidak memperjuangkannya sendiri.” begitulah kutipan kata-kata Teten yang termuat di halaman 204.

Ibarat nasi goreng, buku ini merupakan menu paket lengkap, apalagi dengan adanya pengantar dari Dr. Zaim Uchrowi, CEO Balai Pustaka 2007—2012 yang dikenal sebagai Guru Karakter dan Peubahan, dan epilog dari mantan Direktur Program Tanoto Foundation, Dewi Susanti, yang kini bekerja sebagai Kepala Spesialis Peneliti di Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Dewi Susanti menyebutkan bahwa penulis-penulis dalam buku ini dan seluruh penggerak pendidikan di bidang dan wilayah masing-masing seperti rimpang-rimpang (rhizoma) yang dapat berdiri sendiri dalam menopang semangat pendidikan. Seperti rimpang yang akar-akarnya tumbuh tanpa aturan, tetapi kuat menghujam, kadang para pendidik perlu bertemu untuk menyatukan semangat, kadang pula mereka perlu menyendiri untuk fokus mengembangkan diri sesuai target dan potensi.

Gaya bahasa yang ringan dan ilustrasi yang mendukung juga semakin menambah pesona buku ini. Pembaca akan semakin dibakar semangat bacanya ketika sampai pada lembar berilustrasi yang segar dan menyegarkan. Saya hampir tidak menemukan kekurangan dalam buku ini. Sebagai seorang yang peduli atas pendidikan di Indonesia, buku ini wajib Anda miliki. Buku ini tidak hanya menyajikan kisah, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kebijaksanaan melalui inovasi dan kreativitas tanpa batas.

Oase Pendidikan di Indonesia merupakan produk kebermanfaatan yang nyata dari Tanoto Foundation rintisan Sukanto Tanoto. Tentu, untuk sampai pada kebermanfaatan seperti sekarang Sukanto Tanoto tidak berlemah-lemah dalam perjuangan. Kisah perjuangannya mulai dari putus sekolah sampai kerja kerasnya dalam membangun bisnis keluarga hingga sampai pada keputusan membagi kebermanfaat yang luar biasa melalui Tanoto Foundation patut diacungi jempol. Seperti Sukanto Tanoto dan para penulis dalam buku ini yang senantiasa menginspirasi, saya dan pembaca juga dapat menginspirasi dengan cara kita masing-masing. Mari sebarluaskan buku bagus seperti buku ini ke seluruh pelosok negeri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun