DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia dan memiliki enam kota yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Jakarta menjadi kota metropolitan terbesar di dunia dengan pusat pemerintahan di Jakarta Pusat, pusat bisnis di Jakarta Selatan, dan pusat industri di Jakarta Timur tepatnya kawasan Pulo Gadung. Meskipun demikian, padatnya kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian tidak sebanding dengan luasnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), DKI Jakarta hanya memiliki luas 664,01 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2021 sebesar 10,6 juta. Dengan demikian, kepadatan penduduk Jakarta mencapai 15.978 jiwa/km2 dengan kota Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat yang memiliki kepadatan tertinggi.
Kota pertama dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah Jakarta Pusat. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta pusat menarik minat pendatang untuk bermukim di daerah ini terlepas dari luasnya sebesar 52,38 km2 berarti kepadatan penduduk kota ini sebesar 20.360 jiwa/km2. Kota berikutnya disusul oleh Jakarta Barat dengan kepadatan penduduk 19.608 jiwa/km2 lalu Jakarta Timur dengan kepadatan 16.729 jiwa/km2. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan karena begitu banyak penduduk yang bermukim di satu tempat. Hal ini mengganggu privasi dan kondisi kesehatan masyarakat terlebih terdapat banyak masyarakat yang tinggal di slum area, pinggiran kota, dan di dekat pusat industri.
Banyaknya penduduk Jakarta juga diiringi dengan arus mobilitas yang tinggi dan hal ini terbukti dari munculnya titik kemacetan di jam tertentu. Mobilitas tidak hanya dilakukan masyarakat yang tinggal di Jakarta saja, tetapi masyarakat commuter atau masyarakat yang tinggal di sekitar Jakarta. Akibatnya, titik kemacetan muncul di jam-jam padat, seperti pada pukul 06.00 - 09.00 WIB dan pada pukul 15.00 - 21.00 WIB. Kemacetan ini muncul karena banyak penduduk Jakarta yang menggunakan kendaraan pribadi terutama kendaraan roda empat. Kendaraan pribadi memakan lebih banyak ruang daripada kendaraan umum jika dibandingkan 1 bus dapat menampung sebanyak 50 penumpang, sedangkan ketika 50 individu mengendarai mobil berarti terdapat 33 mobil di jalan.
Dampak Kemacetan
Kemacetan ini menghadirkan masalah bagi masyarakat, mulai dari masalah sosial sampai masalah lingkungan. Pertama, masalah sosial yang timbul dari kemacetan adalah terganggunya aktivitas masyarakat. Hal ini terjadi karena volume kendaraan tidak sebanding dengan lebar jalan yang tersedia. Kemacetan ini seharusnya mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum karena kemacetan cenderung membuang waktu yang tidak sesuai dengan cara kerja orang-orang kota yang serba cepat. Kedua, masalah lingkungan, semakin banyak kendaraan maka semakin besar juga emisi gas yang dikeluarkan kendaraan. Hal ini menimbulkan polusi udara yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang berada di sekitar titik-titik kemacetan tersebut.
Polusi udara tidak hanya berasal dari gas emisi kendaraan, tetapi juga berasal dari pabrik industri. Pabrik menghasilkan asap yang dapat mempengaruhi kualitas udara sehingga dapat memperburuk polusi udara yang terjadi. Meskipun demikian, kendaraan bermotor memberikan angka pencemaran udara lebih tinggi karena volume kendaraan yang juga tinggi. Pencemaran udara terjadi karena proses pembakaran kendaraan tidak berlangsung sempurna sehingga kendaraan bermotor mengeluarkan emisi gas buang. Emisi gas buang mengandung polutan berupa Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), dan Timbal (Tb). Polutan tersebut ada yang memiliki bau dan tidak memiliki bau. Namun, polutan yang tidak memiliki bau jauh lebih berbahaya daripada polutan yang memiliki bau. Hal ini terjadi karena manusia bisa tanpa sadar menghirup polutan yang seharusnya dapat mereka hindari.
Berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat yang terkena dampak pencemaran udara adalah masyarakat yang bermukim di pinggir jalan dan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah industri. Kondisi ini diperburuk dengan letak warung, pedagang kaki lima, dan tempat makan yang berada di pinggir jalan yang lebih rentan terkena asap-asap beracun yang berasal dari gas emisi kendaraan. Makanan yang sudah terkontaminasi asap beracun akan menghadirkan masalah baru, seperti terkena penyakit pencernaan. Selain itu, penjual yang tinggal di pinggir jalan secara langsung juga menghirup gas buang yang dihasilkan kendaraan. Asap beracun yang dihirup semakin meningkatkan kemungkinan masyarakat terkena penyakit gangguan pernapasan, seperti bronkitis, pneumonia, bahkan memperparah penyakit asma.
Masyarakat nyatanya lebih dekat dengan pencemaran udara dari gas buang kendaraan daripada pencemaran udara yang berasal dari sisa-sisa industri. Hal ini terjadi karena masyarakat umum melakukan interaksi, mobilisasi, atau dengan kata lain berada di jalan yang meningkatkan kemungkinan terkena penyakit gangguan pernapasan. Kondisi ini diperjelas dengan penelitian yang menyatakan bahwa emisi gas buang kendaraan menyumbang 75% pencemaran udara. Dengan demikian, kondisi lingkungan di mana masyarakat tinggal dapat mempengaruhi penyakit-penyakit yang menyerang mereka. Kondisi lingkungan yang buruk akan meningkatkan kemungkinan masyarakat terkena penyakit tertentu yang dalam kasus ini adalah penyakit gangguan pernapasan akibat emisi gas buang kendaraan.
Berdasarkan perspektif struktural fungsionalis, sakit memiliki peran bagi individu yang merasakan hal tersebut, tetapi hilangnya peran sementara individu yang sakit dapat mengganggu kestabilan struktur yang sudah ada. Hal ini tentunya terjadi dengan penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Emisi kendaraan bermotor dapat menyebabkan pergerakan silia untuk menyaring polutan menjadi lambat bahkan terhenti sehingga penyaringan udara tidak berjalan maksimal bahkan polutan dapat merusak sel-sel yang dapat membunuh bakteri. Dengan demikian, masyarakat yang sering terpapar emisi gas buang kendaraan lebih rentan terkena penyakit-penyakit saluran pernapasan sehingga menurunkan angka harapan hidupnya atau life expectancy.
Gangguan kesehatan yang muncul akibat emisi gas buang kendaraan adalah gangguan pernapasan, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), TBC (Tuberkulosis), asma, bronkitis, dan pneumonia. Penyakit tersebut merupakan penyakit mematikan yang dapat menurunkan angka harapan hidup masyarakat terlebih beberapa penyakit memiliki resiko penularan yang sangat tinggi jika individu yang terpapar melakukan interaksi secara intens dengan individu lainnya (penyakit TBC). Asap kendaraan bermotor juga semakin memperburuk kesehatan masyarakat yang terkena penyakit asma. Kondisi ini dapat mempengaruhi produktivitas masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, dan tentunya kesehatan. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menekan bertambahnya gangguan kesehatan yang terjadi karena emisi gas buang kendaraan.
Pencemaran udara tentunya dialami kota-kota besar, salah satunya adalah Jakarta. Terdapat banyak faktor yang membuat kondisi udara Jakarta tercemar, salah satunya adalah gaya hidup masyarakat Jakarta. Gaya hidup serba modern, efektif, dan efisien di Jakarta mempunyai korelasi positif dengan pencemaran udara yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan bermotor. Udara sebagai komponen penting dalam keberlangsungan kehidupan akan semakin tercemar jika bertambahnya jumlah kendaraan bermotor semakin tidak terkendali. Pencemaran udara akan menimbulkan efek domino bagi kehidupan sosial masyarakat, seperti penyakit-penyakit yang timbul sehingga mengganggu produktivitas masyarakat.