Mohon tunggu...
Indun saadah
Indun saadah Mohon Tunggu... -

Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Sidoarjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengutamakan Malu Dalam Pembelajaran Oleh Indun Saadah

14 Juli 2014   21:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:21 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGUTAMAKANMALUDALAMPEMBELAJARAN

Oleh Indun Saadah

Peristiwa jual beli ijazah yang dilansir Jawa Pos tanggal 18-19 September 2008 itu mengingatkan kepada kita bahwa ada praktik kecurangan dalam dunia pendidikan di negeri ini. Kopertis seperti kecolongan. Legitimasinya menjadi pertaruhan. Walaupun yang terendus pelaku jual beli ijazah itu baru salah satu perguruan tinggi swasta di kota besar yang ada di Jawa Timur ini. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa perguruan tinggi swasta di kota-kota lain terutama di daerah bahkan lebih parah daripada yang berada di kota besar.

Selama ini masyarakat sangat mengakuikredibelitas perguruan tinggi. Kejujuran dan objektivitas begitu kental terasa pada institusi ini. Ketika pemerintah akan mengambil sebuah kebijakan penting, institusi ini selalu diminta pemikirannya sebagai bahan pertimbangan. Sebut saja sebuah contoh yaitu proses kelahiran sertifikasi. Perguruan tinggi yang membidani dan berada di barisan terdepan.

Peristiwa itu benar-benar sangat memprihatinkan. Lebih menyakitkan lagi apabila pemesannya adalah para guru - yang sangat dimuliakan oleh masyarakat - dalam usahanya memenuhi persyaratan kelayakan mengajar. Kuliah enggan, dengan sejumlah uang, ijazah sarjana sudah ada di tangan.Negeri ini bagai sebuah surga bagi para oknum instanisasi. Lemahnya kontrol dan sanksi menjadi jaminan/garansi bahwa instanisasi terus berkembang dan membumi menggerogoti cita-cita luhur bangsa ini.

Hal itu diperparah dengan perilaku guru yang benar-benar tidak patut ditiru tetapi sangat pantas untuk ditinju.perilaku tersebut adalah pencurian soal UN. Ditengarai (di suatu daerah) soal UN dicuri oleh70 kepala sekolah-dan guru (Jawa Pos, 13 Mei 2014). Soal yang dicuri dikerjakan oleh guru-guru terpilih kemudiandiedarkan sampai diperjualbelikan.

Lembaga pendidikan sebagai pemegang otoritas moralditengarai tidak lagi bisa berdiri tegak. Tidak lagi bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang ditempuh oleh para instanisator untuk memperoleh hasil yang cepat dan mudah.

Jual beli ijazah – peredaran kunci jawaban ujian ditengarai juga merembet ke jajaran pendidikan dasar dan menengah. Sertifikasi yang seharusnya menjadi madu untuk pertumbuhan pendidikan dapat berubah menjadi racun. Hal ini lebih karena sikap para oknum guru yang bertindak sebagai instanisator. Tidak kuliah atau kuliah hanya formalitas dan mendapat ijazah.

Guru adalah pengawal sekaligus penjaga otoritas moral di lembaga ini, ditengarai masih banyak yang meraih kelayakan ijazah dan kepangkatan secara instan. Hal ini tentu akan mematikan nurani pendidikan.

Kebijakan-kebijakan kecil di sekolah tampaknya juga turut menjadi penyebab mandulnya pendidikan. Ditengarai masih banyak sekolah yang ‘mengasihani peserta didik’ sehingga membuat kebijakan menaikkan peserta didik yang tidak naik kelas kalau mereka pindah sekolah. Atau mengubah dan menambah nilai peserta didik yang mutasi agar mereka diterima disekolah yang lebih favorit.

Ketidaktegasan sekolah terhadap pelanggar kedisiplinan baik yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru juga mewarnai proses pemandulan pendidikan. Sebuah fenomena yang tidak menggembirakan dalam dunia pendidikan. Sampai kapan hal ini terjadi? Betapa memprihatinkan wajah pendidikan kita.

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu pembiasaan perilaku untuk menyemai akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan di negeri ini, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat berilmu,cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( UU 20/ 2003 ps 1 ).

Out put pendidikan tidak dapat diketahui dalam waktu singkat. Hasil pendidikan akan dapat diketahui dalam waktu yang cukup lama. Tidak salah kalau pendidikan dikatakan sebagai sebuah investasi jangka panjang. Inti dari sebuah pendidikan adalah akhlak atau budi pekerti. Akhlak/ budi pekerti yang baik akan dapat membentuk kualitas sumber daya manusia, meningkatkan kesejahteraan manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan status sosial, citra, dan derajat manusia.

Pendidikan ke depan diarahkan pada pembangunan manusia seutuhnya. Manusia adalah subjek yang mempunyai kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaannya secara optimal. Baik akhlak maupun pengetahuan serta kesehatannya.

Paradigma pembangunan pendidikan tersebut menempatkan peserta didik pada peran dan kedudukan yang sangat penting. Bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek. Pendidikan merupakan proses yang sistematis dan terencana serta terarah untuk memanusiakan manusia dalam bingkai sebuah kepribadian.

Mewujudkan pembangunan pendidikan untuk membentuk akhlak peserta didik tidak mudah. Sebab masyarakat kita kini mengalami krisis multidimensial, khususnya krisis etika, moral dan akhlak. Di samping itu banyak guru/ pendidik belum menyadari bahwa tanggung jawab tidak hanya mencerdaskan peserta didik tetapi juga membentuk akhlak mereka. Hal ini tampak pada proses pembelajaran bahwa para pendidik lebih fokus pada transformasi ilmu saja. Sebaliknya, pembinaan akhlak/ budi pekerti sangat kurang(Haris Supratno,JP/20-9 -2008).

Hal ini diperparah dengan kebijakan sekolah yang selalu memberi nilai B pada sisi afektif semua peserta didik kelas akhir (IX SMP, XII SMA) agar mereka mulus untuk lulus ujian. Apabila peserta didik sudah di kelas akhir pada tingkatan jenjang pendidikan, sepertinya sudah tidak ada lagi pembeda peserta didik yang baik dengan peserta didik yang tidak baik. Semuanya baik atau ‘dibaikkan’. Sehingga tidak salah apabila penentu kelulusan adalah ujiannasional semata.

Wajar, jika beberapa tahun kemudian muncul banyak penyimpangan pada pada perilaku manusia. Ini adalah potret hasil pendidikan kita.

SOLUSI

Pertama, diperlukan keberanian guru untuk menjadikan dirinya sebagai teladan peserta didik dalam hal perilaku dan tanggung jawab dalam pembelajaran di sekolah. Apabila peserta didik tidak diperbolehkan terlambat, maka guru harus terlebih dulu memberi contoh untuk tidak terlambat dan seterusnya.

Kedua, mengondisikan pembelajaran dengan mengutamakan rasa malu apabila berbuat salah. Untuk ini diperlukan keberanian guru untuk mengakui kesalahannya di depan peserta didik. Dengan contoh ini, peserta didik juga akan menirunya. Arahan guru tentang benar-salah, baik-buruk dalam setiap pembelajaran akan menjadi pupuk penyemai budi pekerti peserta didik.

Ini merupakan langkah awal untuk memfokuskan kerja guru di bidang pendidikan. Sebab tanggung jawab guru tidak hanya mentransfer ilmu atau mengajar – seperti yang selama ini dilakukan – , tetapi yang lebih penting adalah mendidik. Mendidik berhubungan dengan hati, membentuk akhlak mulia peserta didik. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian utama para guru.

Ketiga, ketegasan dan kejujuran para pengendali pendidikan di sekolah. Dalam menciptakan akhlak mulia atau budi pekerti luhur peserta didik diperlukan ketegasan dan kejujuran pengendali sekolah ( baca: kepala sekolah ) dalam pelaksanaan aturan-aturan yang ada. Semua peserta didik diperlakukan sama sebagaimana aturan yang ada. Tanpa harus dipengaruhi oleh latar belakang mereka. Perilaku deskriminasi pada peserta didik sebaiknya dihindari. Berilah kepercayaan guru untuk memberi penilaian sebagai kewenangannya. Karena gurulah yang lebih mengetahui keadaan peserta didik yang sebenarnya. Guru jangan diintimidasi dengan keberadaan ‘peserta didik yang istimewa.’

Ketegasan dan kejujuran para pengendali pendidikan juga diberlakukan kepada guru. Kinerja guru juga harus diperhatikan. Pembiaran guru absen atau melanggar aturan berkali-kali akan menjadikan dampak negatif pada pertumbuhan pendidikan. Harus ada respon yang berimbang dalam masalah ini. Sehingga tidak muncul prasangka negatif ‘kerja rajin atau tidak, tidak ada bedanya’.

Keempat, kontrol yang berkesinambungan. Kontrol ini sangat diperlukan dalam menumbuhkembangkan kepribadian yang berakhlak mulia. Lemahnya kontrol pada peserta didik dan pendidik akan menjadikan sekolah formal yang hanya formalitas belaka. Peserta didik belajarnya formalitas, guru mengajarnya juga formalitas. Untuk menghindari hal yang sedemikian buruk dibutuhkan kontrol yang kuat dan berkesinambungan.Hasil dari kontrol/pengawasan ini supaya ditindaklanjuti dengan respon/perilaku yang berimbang. Apabila hasil pengawasan baik, mereka harus mendapatkan reward yang sesuai, tetapi apabila hasil pengawasan tidak baik, mereka juga harus mendapatfunishment yang sesuai juga.

Sanksi yang berimbang dengan hasil pengawasan adalah ‘bibit rasa malu’ untuk bertindak salah. Oleh karena itu perlu disemaikan sehingga tumbuh subur. Untuk itu diperlukan sebuah keberanian melaksanakannya dengan segala risiko yang ditimbulkannya.

Penulis berharap tidak hanya seorang Taufik Ismail saja yang malu melihat atau melakukan kesalahan ( MAJOI : 2000 ), tetapi akan muncul banyak pendidik dan tenaga kependidikan ( serta birokrat ) yang mempunyai rasa malu. Sehingga menjadikan lembaga pendidikan ini benar-benar mengedepankan dan menegakkan moralitas .

Nama: Indun Saadah

Unit Kerja: Guru SMP Negeri 2 Sidoarjo

Alamat: Jalan Raya Ponti

Sidoarjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun