Ketika nama saya kembali masuk panggung media, 18 November 2013, tepatnya melalui serial tweet yang dilancarkan @ulinyusron, saya sudah memperkirakan bahwa persoalan IPO Krakatau Steel akan kembali menjadi alat untuk menyerang saya. Tentu saja wacana lawas yang akan digembar-gemborkan lagi, terdiri dari beberapa poin:
- Indro Bagus melanggar Etika Jurnalisme
- Indro Bagus melakukan pemerasan akan minta jatah IPO Krakatau Steel
Artikel ini adalah penjelasan detail dan kronologis mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada IPO Krakatau Steel, yang selalu disalahartikan oleh kelompok Tempo, entah karena alasan apa. Pergunjingan di kalangan wartawan saat itu, Tempo Group berusaha menutupi adanya suatu ‘kejahatan’ yang lebih besar dengan mengorbankan sejumlah wartawan pasar modal. Sesi lain akan saya jabarkan lebih lengkap. IPO (Initial Public Offering) atau yang lebih dikenal sebagai Go Public merupakan mekanisme umum bagi perusahaan yang ingin melepaskan sebagian sahamnya ke publik. Tujuannya tentu saja, untuk penambahan modal perusahaan. PT Krakatau Steel Tbk (kode saham: KRAS) adalah 1 dari lebih 400 perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dicatatkan pada 10 November 2010 pada harga Rp850 per lembar saham. Seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak berpartisipasi dalam transaksi jual beli saham, baik secara individu, perseroan, usaha bersama, asosiasi maupun kelompok yang terorganisasi. Dan ini pun dikonfirmasi oleh Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmany yang saat itu menjabat. Saya revisi jabatan pimpinan Bapepam-LK menjadi Kepala dari yang saat ini digunakan adalah Ketua Bapepam-LK. Agak aneh mengapa Bapepam-LK menggunakan jabatan Ketua untuk pimpinannya, padahal hampir setiap lembaga yang menggunakan istilah ‘Badan’ dipimpin oleh jabatan ‘Kepala’ sebagaimana anggota tubuh. Fuad Rahmany mengatakan “Saya rasa tidak masalah wartawan memiliki saham.”
- Bukti pembayaran atas pembelian saham Krakatau Steel (dari rekening saham saya)
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (hak setiap WNI membeli saham)
- Kode Etik Jurnalisme (tidak tercantum larangan wartawan membeli saham)
- Peraturan Karyawan Detikcom (tidak tercantum peraturan larangan karyawan detikcom membeli saham)
Sidang itu pun berakhir deadlock, karena memang tidak ada satu pun argumen hukum maupun etika yang dapat menyalahkan saya dalam aktivitas saya membeli saham. Apalagi, menyadari adanya potensi benturan kepentingan dalam transaksi saham dengan penulisan berita, saya pun sudah selalu melaporkan saham yang saya beli kepada Redaktur Pelaksana saya, dengan tujuan saya tidak ikut menulis pemberitaan atas saham yang saya miliki. Mekanisme wartawan melaporkan saham yang dimilikinya kepada kantor agar wartawan yang memiliki saham tersebut tidak menulis berita yang berkaitan dengan saham yang dimilikinya, merupakan mekanisme umum dari kantor-kantor berita di Amerika Serikat dan Eropa. Karena itu pula, diskusi pada sidang Kamis sore berakhir deadlock, karena pada hakikatnya tidak ada yang bisa disalahkan dalam aktivitas wartawan membeli saham. Namun demikian, petinggi detik.com meminta saya menghentikan aktivitas saham saya, agar upaya detikcom membersihkan nama baiknya dari isu bohong ‘Pemerasan IPO KS’ bikinan Tempo ini dapat berlangsung dengan mulus. Permintaan itu saya tolak, karena saya dilindungi undang-undang dan tidak ada masalah jika saja detikcom mau ikut memperjuangkan itu. Namun saya tidak mau mempersulit proses pembersihan nama detikcom. Oleh sebab itu, saya langsung mengajukan resign pada akhir diskusi Kamis Sore 18 November 2010. Dan saya minta juga kepada manajemen detikcom agar pengunduran diri saya tidak perlu melalui proses One Month Notice dan efektif hari ini juga. Permintaan ini dikabulkan oleh manajemen detik. Ketika itu, banyak wartawan yang menyayangkan tindakan saya. Mereka bilang, kenapa tidak menunggu dipecat saja agar dapat pesangon? Saya jawab pada mereka, ada hal-hal prinsipil yang harus dijaga ketimbang sekedar memperoleh uang pesangon. Saya pilih resign karena tindakan saya membeli saham tidak salah sehingga bagi saya memilih menunggu pecat demi pesangon adalah berseberangan dengan prinsip saya soal saham. Memilih menunggu dipecat seolah membuat saya mengakui bahwa saya salah bermain saham. Usai resign, saya masih terus memantau perkembangan isu ‘Pemerasan Wartawan dalam IPO Krakatau Steel’ yang masih terus digodok Tempo. Sementara teman-teman Wartawan Pasar Modal masih sibuk bertahan dengan menggelar konferensi pers membantah tuduhan-tuduhan Tempo yang tidak berdasar. Analisa saya mengatakan, kunci masalah ini adalah Dewan Pers sebagai pihak yang berwenang menangani kasus wartawan. Teman-teman wartawan ketika saya ajak menemui Dewan Pers menolak karena menurut mereka hal itu akan sia-sia, karena menurut mereka Dewan Pers dikuasai oleh Tempo Group. Saya percaya, bahwa masalah ini terjadi akibat miskomunikasi dan adanya pembingkaian wacana dari Tempo Group kepada Dewan Pers, sehingga saya pikir perlu dilakukan penyeimbangan opini kepada Dewan Pers agar mereka dapat melihat duduk persoalan secara cover both side, tidak sepihak dari kelompok Tempo saja. Atas dasar itu, saya melakukan inisiatif untuk menemui Dewan Pers. Setelah mencari kontak sana-sini, akhirnya saya bisa membuat janji dengan Agus Sudibyo yang ditugaskan menginvestigasi masalah ini. Di sebuah hotel kawasan Sabang pada 20 November 2010, saya menghadiri pertemuan dengan Agus Sudibyo, Bekti Nugroho dan Bambang Harymuti untuk membahas duduk persoalan isu bohong ‘Pemerasan Wartawan dalam IPO KS’. Sayangnya, dalam pertemuan itu, Bambang Harymurti lebih dominan berbicara sehingga hasil meeting tersebut tetap berat sebelah. Isu pemerasan masih menjadi framing utama, meski saya sudah memberikan sinyal kepada Pak Agus dan Pak Bekti bahwa ada upaya pembingkaian dalam wacana ini. Meeting pertama, saya hanya bisa memberikan sinyal kecil soal adanya kejanggalan. Isu dari Bambang Harymurti masih kuat. Dari situ pula saya tahu bahwa dialah yang bermain dalam wacana ‘Pemerasan Wartawan dalam IPO KS’. Untungnya, selang 2 hari (22 November 2010) Pak Agus Sudibyo kembali mengajak meeting. Entah bagaimana, saya merasa Pak Agus Sudibyo menangkap sinyal saya di meeting pertama. Pada meeting kedua yang dilaksanakan di Gedung Dewan Pers, hanya dihadiri oleh saya, Agus Sudibyo, dan Bekti Nugroho. Tanpa Bambang Harymurti. Di situ saya merasa, Agus Sudibyo dan Bekti Nugroho menangkap sinyal saya bahwa ada pembingkaian dalam isu ‘Pemerasan Wartawan dalam IPO KS’ oleh Bambang Harymurti. Tanpa kehadiran sang pembingkai, diskusi berlangsung lancar dan mengalir. Dewan Pers tampak sangat terbuka dalam masalah ini, saya pun gamblang menjelaskan duduk persoalan IPO KS. Saya hadirkan 4 bukti yang sama seperti pada sidang detikcom (18 November 2010). Begitu pula argumen saya bahwa, jika memang wartawan akan dilarang main saham, harus dibuatkan payung hukum atau peraturan yang jelas. Saat ini, tidak ada yang dapat disalahkan karena UU Pasar Modal melindungi setiap WNI dalam transaksi saham dan Dewan Pers pun sepakat, Kode Etik Jurnalisme yang dikeluarkan Dewan Pers tidak membahas detail mengenai apa-apa saja yang dilarang, sehingga bias interpretasi. Dan akhirnya Dewan Pers pun mengerti bahwa tidak ada yang namanya pemerasan dalam IPO KS. Dewan Pers pun mengerti bahwa tidak ada payung yang kuat untuk menyalahkan wartawan, termasuk saya dalam bermain saham. Hasil meeting kedua jauh lebih progresif dari meeting pertama. Meeting kedua saya dengan Agus Sudibyo dan Bekti Nugroho memutuskan bahwa tidak ada pemerasan IPO KS oleh Wartawan dan akan meminta TEMPO melakukan klarifikasi terhadap isu bohong ‘Pemerasan Wartawan Dalam IPO KS’ . Selain itu, Dewan Pers juga ke depannya meminta saya membantu Dewan Pers menyusun Kode Etik Jurnalisme baru yang mendetailkan soal aktivitas transaksi saham oleh wartawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H