Rabu pagi di kota kembang tempat kelahiran ku begitu sejuk. Tanaman di halaman rumah tampak segar. Pandangan ku tertuju pada tanaman cabe rawit yang memerah. Cabe rawit memerah yang menggoda ku untuk memetiknya.Â
Cabe rawit ini ku dapat dari pa suami. Pa suami mendapat bibit nya dan menanamnya di halaman rumah. Ini adalah kedua kalinya aku memanen cabe rawit ini. Memang tak banyak cabe rawit yang dapat ku panen. Namun sensasi memanen dan mengolahnya itu yang membuat menjadi berbeda.Â
Cabe rawit yang dirawat di halaman rumah lebih memiliki kesan berbeda. Panen kedua kali ini ku menyuruh putra kedua ku. Askari nama putra ku. Pagi ini kebetulan putra kedua ku sedang mengerjakan tugas sekolahnya. Ada dua tugas yang harus ia kerjakan. Pertama tugas agama. Kedua tugas pra karya. Aku melihat Askari sedang memegang gunting karena sedang mengerjakan tugas pra karya.Â
Sontak aku mengganggunya sebentar untuk memanen cabe rawit yang sudah menerah. Dengan semangat putra kesayangan ku bergegas ke halaman untuk memanen cabe rawitnya. Askari pun turut merawat cabe rawit ini sesekali ia suka membantu menyiraminya.Â
Sesuai instruksi Askari memanen cabe rawit yang berwarna merah. Namun karena bersemangat ada satu yang masih berwarna hijau turut ia petik. Askari meminta ijin dan meminta maaf kepada ku. Tak masalah untuk ku. Anak pertama ku tak kalah antusias nya ia mengabadikan momen ini dengan memotretnya. Semoga anak anak dengan pengalaman ini lebih bersyukur dan menghargai rezeki makanan yang Alloh SWT berikan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H